Dugaan Korupsi Calon Kepala Daerah Mulai Diselidiki, Paslon Diminta Waspadai Pamrih Sponsor Pilkada
Penyelidikan dilakukan terhadap pasangan calon kepala daerah di luar provinsi Sulawesi Utara.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Dewi Agustina
Berdasarkan temuan KPK di Pilkada 2018, bantuan pendanaan ini dibutuhkan untuk menutup biaya pemenangan.
Kebutuhan dana untuk ikut pilkada di tingkat kabupaten atau kota adalah Rp 5-10 miliar.
Untuk menang, cakada harus menyediakan uang sekitar Rp 65 miliar.
Sementara, berdasarkan Laporan Harta Kekayaan (LHKPN) cakada yang disampaikan kepada KPK, rata-rata total harta pasangan calon mencapai Rp 18,03 miliar.
Ada satu pasangan calon yang memiliki harta minus Rp 15,17 juta.
Baca juga: Bawaslu Yakin Sanksi Diskualifikasi Lebih Ditakuti Peserta Pilkada Ketimbang Sanksi Pidana
Pendanaan dalam Pilkada, lanjut Nawawi, diperlukan untuk membayar uang mahar pencalonan kepada partai politik pendukung, advertensi kampanye, sosialisasi kepada konstituen, hingga honor saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Selain itu, gratifikasi kepada masyarakat pemilih dalam bentuk barang, uang, janji atau beli suara, serta biaya penyelesaian hukum konflik kemenangan Pilkada.
Untuk menutupnya, pendanaan dari donatur pun dibutuhkan.
Pada Pilkada 2018, kata Nawawi, lebih dari 80 persen calon kepala daerah dibantu pendanaannya oleh sponsor.
Masalahnya, kata Nawawi, donatur yang kebanyakan pengusaha itu ada pamrihnya jika calon yang didanainya menang.
Di antaranya, dalam bentuk kemudahan perizinan dalam menjalankan bisnis, keleluasaan mengikuti pengadaan barang dan jasa pemerintah, serta keamanan dalam menjalankan bisnisnya.
"Survei itu bertanya kepada cakada, apakah orang yang menyumbang atau donatur ini mengharapkan balasan di kemudian hari saat para cakada menjabat? Jawabannya, sebagian besar cakada, atau 83,80 persen dari 198 responden, menyatakan akan memenuhi harapan tersebut ketika dia menjabat," tuturnya.(tribun network/ham/dod)