Ray Rangkuti Sayangkan Sikap KPU Terlalu Akomodatif Keinginan Peserta Pilpres
Pemerhati pemilu, Ray Rangkuti menyayangkan sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) terlalu mendengar keinginan peserta pilpres 2019.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerhati pemilu, Ray Rangkuti menyayangkan sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) terlalu mendengar keinginan peserta pilpres 2019.
Tentu saja sikap ini bukan sesuatu yang buruk. Tapi jika segala hal harus disesuaikan dengan keinginan dua pasangan capres, malah posisi KPU terlihat lemah, ambigu dan tidak punya sikap dalam menghadapi keduanya.
"Sejatinya, KPU sendiri punya desain dan pikiran yang bisa ditawarkan kepada kedua pasangan dan bahkan pada tingkat tertentu memastikan posisi KPU dalam titik tertentu tidak berubah," ujar Ray Rangkuti kepada Tribunnews.com, Minggu (6/1/2019).
Paling tidak sikap itu tercermin selama satu Minggu ini dalam tiga keputusan KPU yang membuat dahi mengernyit. Pertama, Keputusan tidak memfasilitasi penyampaian visi-misi capres.
Hal ini diputuskan setelah tidak ditemukan titik temu antara model penyampaian dari kedua pasangan capres. KPU akhirnya memutuskan tidak melakukan fasilitasi.
Kedua, mengeluarkan ICW sebagai panelis debat sesi pertama. Hampir tidak ada penolakan terhadap posisi ICW sebagai panelis.
Baca: Panelis dan Modertor Berperan Sajikan Debat Capres Berkualitas
Alih-alih terdengar penolakan, yang muncul adalah dukungan bahwa kandidasi ICW sebagai salah satu panelis untuk tema korupsi adalah pilihan yang tepat. Tapi, karena alasan ditarik sendiri oleh pengusul, KPU akhirnya mencoret ICW sebagai salah satu panelis.
Ketiga, menyampaikan materi debat kepada dua pasangan capres sebelum debat dimulai. Sekalipun disebut bahwa materi debat tidak tunggal, tapi keseluruhan materi yang akan ditanyakan sudah terlebih dahulu diserahkan kepada pasangan capres.
Pada waktu debat, panelis akan menentukan satu dari lima bahan pertanyaan untuk ditanyakan moderator.
Selain itu dari tiga kejadian itu, dia menegaskan pula, Posisi KPU tidak jelas sebagai lembaga penentu kebijakan teknis pelaksanaan Pemilu/pilpres.
Karena ia menegaskan, sesuatu aturan, segala hal yang berhubungan dengan tekhnis pemilu merupakan kewenangan KPU untuk menetapkannya. Kewenangan ini bersifat mutlak dan tetap, walaupun jika ada pihak yang tidak puas dapat mengajukan gugatan ke PTUN.
"Tapi melihat sifat dari 3 peristiwa di atas, rasanya tidak cukup alasan bagi kedua pasangan capres untuk menggugat keputusan KPU, apapun keputusan itu. Jadi mengherankan memang jika KPU terlihat seperti malah tidak punya desain sendiri yang bisa diajukan dan ditawarkan kepada kedua pasangan capres," tegasnya.
Sikap KPU ini juga imbuh dia, potensial akan merugikan publik sebagai pemilih. Penyampaian visi misi, juga pencoretan ICW sebagai panelis debat misalnya bisa merugikan hak publik.
Karena sudah sejatinya publik sebagai pemilih mengenal dan mengetahui visi misi kedua capres sejak dini.
"Di tengah maraknya nyinyirisme kampanye, isu Sara dan politik identitas yang meruak, penyampaian visi misi secara dini dan luas itu kiranya akan dapat membantu mengarahkan kembali isu pilpres ke hal-hal yang lebih subtantif. Tentu saja, memastikan isu pemilu/pilpres berkutat pada hal-hal subtantif dan visioner juga merupakan tanggungjawab penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu," jelasnya.