Dalam Debat Keempat, Bukti Petahana Tidak Prioritaskan Anggaran Pertahananan Indonesia
Dalam GFP Index 2018 itu Indonesia menempati peringkat 15 dari 137 negara di dunia dari segi kekuatan militer.
Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Ekonomi Politik, Kusfiardi menyoroti lemahnya konsep dan pandangan Calon Presiden Petahana, Joko Widodo (Jokowi) tentang pertahanan dan keamanan (Hankam) dalam debat pilpres keempat pada Sabtu (30/3/2019) kemarin.
Menurut Kusfiardi, semestiinya petahana itu memiliki visi dan pandangan yang matang soal Hankam.
Hal itu menurut Kusfiardi terlihat saat Calon Presiden Nomor Urut 02, Prabowo Subianto melempar pertanyaan tentang alokasi anggaran pertahanan Indonesia kepada Capres Petahana.
Prabowo menyebutkan, anggaran pertahanan sebesar Rp107 Triliun setara dengan 5 persen dari APBN atau 0,8 persen dari GDP tersebut masih sangat kecil.
Sementara negara-negara lain lebih besar dari itu.
Menanggapi itu, Jokowi pun mengakui bahwa anggaran pertahanan tersebut memang masih kecil. Malah menurutnya hal ini bisa diselesaikan dengan membangun investasi di bidang alutsista.
“Jawaban Jokowi itu menunjukkan bahwa alokasi anggaran pertahanan tidak masuk dalam prioritas, kemudian menggunakan pendekatan investasi untuk pertahanan dan keamanan juga kurang tepat,” kata Kusfiardi kepada wartawan di Jakarta, Senin (1/3/2019).
Baca: BPN: Tema Debat Keempat Malam Ini Prabowo Banget
Kuasfiardi menjelaskan, pendekatan investasi untuk pertahanan nasional memiliki bias korporasi, karena investasi lebih dominan pertimbangan untung rugi yang lazim berlaku dalam dunia bisnis.
Sementara bagian pertahanan, menurut Kusfiardi menjadi aspek penting dan vital bagi sebuah negara.
Alasannya, masalah pertahanan bukan hanya sekedar untuk menjaga wilayah kedaulatan, tapi juga untuk tujuan melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, sebagaimana amanat konstitusi, UUD 1945.
Untuk itu, menurut dia, tantangan kebijakan pertahanan nasional kedepan membutuhkan keberpihakan, sinergi dan kolaborasi untuk bisa benar-benar mewujudkan pertahanan yang dapat melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.
“Nampaknya itu semua tidak dimiliki petahana,” katanya.
Sementara itu, anggota Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Rizal Darma Putra meragukan data Global Firepower (GFP) Index 2018 sebagai rujukan kekuatan pertahanan militer Indonesia.
Dalam GFP Index 2018 itu Indonesia menempati peringkat 15 dari 137 negara di dunia dari segi kekuatan militer.
Menurut Rizal, GFP Index 2018 terdiri dari banyak variabel sehingga tidak tepat untuk digunakan untuk menilai kekuatan militer Indonesia.
“GFP Index 2018 itu menggunakan 55 indikator untuk penilaian, di mana beberapa di antaranya bukan dari segi persenjataan yang dimiliki Indonesia, seperti memperhitungkan sumber daya alam dan sumber daya manusia, keuangan, kondisi geografi,” ujarnya di Jakarta, Senin (1/4/2019).
Baca: Tiga Fase Pembangunan Terminal LNG Teluk Lamong, Jamin Pasokan Gas Jangka Panjang di Jawa
Rizal menjelaskan bahwa kepemimpinan politik atau kepemimpinan angkatan perang tidak masuk dalam perhitungan.
“Apalagi masuknya faktor sumber daya alam dengan asumsi pengerahan seluruh penduduk untuk berperang di mana jumlah penduduk Indonesia ada di peringkat empat dunia di bawah China, India, dan Amerika Serikat,” imbuhnya.
Rizal pun membeberkan bahwa pernyataan Prabowo dalam debat keempat Pilpres 2019 tentang lemahnya pertahanan militer Indonesia tercermin dari jumlah pasukan angkatan perang aktif yaitu 400.000 personel atau hanya 0,37 persen dari total angkatan kerja yang dapat berperang.
Hal itu menurutnya masih kalah dari Vietnam dan Myanmar yang personel angkatan perangnya berjumlah 482.000 (1,15 persen) dan 406.000 (1,86 persen) serta hanya di atas Thailand dengan jumlah personel militer 360.000 (1,31 persen).
Di sisi lain ia mengatakan jumlah pesawat pembom Indonesia hanya 65 kalah dari Vietnam (108 buah), Singapura (100), Thailand (93), dan Myanmar (80).
Dan Indonesia juga kalah dalam jumlah pesawat tempur di mana Indonesia hanya memiliki 41 kalah dari Vietnam (108, Singapura (100), Thailand (75), dan Myanmar (59).
“Kekuatan angkatan udara Indonesia memang di atas rata-rata negara ASEAN kecuali Thailand tapi kita hanya menang di jumlah pesawat pengangkut dan pesawat latih,” tegasnya.
Sementara itu dari segi kekuatan angkatan laut Indonesia yang memiliki jalur laut sepanjang 21.579 kilometer hanya memiliki 8 frigate (kapal perang), 24 corvettes, 5 kapal selam, 139 kapal patroli, dan 11 ranjau laut kalah dari Vietnam yang memiliki jalur laut sepanjang 17.702 km memiliki 9 frigate, 14 corvettes, 6 kapal selam, 26 kapal patroli, dan 8 ranjau laut.
“Cakupan radar Indonesia juga belum 100 persen menjangkau seluruh wilayah nusantara,” ucapnya.
Rizal juga membeberkan ekuatan alutsista darat Indonesia pun di bawah beberapa negara ASEAN lainnya.
Kekuatan tank tempur Indonesia yang memiliki 315 tank berada jauh di bawah Vietnam yang memiliki 2.575 kemudian Thailand berada memiliki 805 dan Myanmar dengan 434 tank.
Jumlah kendaraan lapis baja pun Indonesia yang hanya memiliki 1.300 kendaraan berada di bawah Singapura dengan 3.585, Vietnam dengan 2.530, Thailand sebanyak 1.551, dan Malaysia 1.460.
“Indonesia pun masih menggantungkan diri pada impor beberapa komoditas seperti beras, gula, garam, gandum, kedelai, minyak dan gas, dan bahan lainnya sehingga rentan mengalami embargo dari negara lain,” jelasnya.
“Prabowo Sandi menekankan pentingnya membangun Indonesia yang berdaulat dalam pangan, energi dan air," pungkas Rizal Darma.