Cerita Anak Almarhum Anggota KPPS di Tangerang yang Belum Sempat Tebus Biaya Ijazah
Sukrani merupakan anggota KPPS yang meninggal dua hari setelah pelaksanaan Pemilu 2019 pada Jumat (19/4/2019).
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Ega Alfreda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kakor Binmas Baharkam Polri Irjen Pol Herry Wibowo mengunjungi keluarga Sukrani (58), anggota Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) di Desa Legok Sukamaju Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang.
Sukrani merupakan anggota KPPS yang meninggal dua hari setelah pelaksanaan Pemilu 2019 pada Jumat (19/4/2019).
Kedatangan jenderal bintang dua itu disambut isak tangis Suadah (56) dan Siti Mamas (19) yang merupakan istri dan putri almarhum.
Baca: Cerita Caca Tengker Fashion Show Bareng Nagita Slavina Pakai Busana Koleksi Terbaru Alto Prive
Baca: 8942 Personel Gabungan Amankan Demo di Depan Gedung KPU dan Bawaslu
Saat berbincang, Suadah mengungkapkan, sebelum menjadi anggota KPPS, suaminya memang sudah mengidap demam dan sakit pada bagian perut.
"Sebelumnya juga sudah beberapa kali berobat," kata Suadah di Kabupaten Tangerang, Jumat (10/5/2019).
Isak tangis makin pecah saat Herry berbincang dengan putri almarhum, Siti Mamas.
Siti, begitu ia disapa, menceritakan kesedihanya karena teringat janji sang ayah untuk melunasi biaya penebusan ijazah yang sudah satu tahun tertahan di sekolah.
Namun, kata Siti, belum sempat melunasi biaya ijazah, sang ayah telah berpulang.
"Ijazah belum diambil, tidak bisa melamar kerja," kata Siti Mamas sambil menangis.
Mendengar penuturan putri almarhum, Herry kemudian memberikan bantuan agar untuk menebus ijazah.
Herry bahkan menawari Siti Mamas untuk menjadi anggota polwan.
Penawaran itu, kata Herry, untuk menguatkan dan memotivasi keluarga terutama putri almarhum.
"Segera tebus ijazahnya, kalau nilainya bagus, daftar jadi polwan," kata Herry.
Herry mengatakan, sudah memberikan nomor telepon selulernya ke keluarga almarhum dan meminta, saat ijazah sudah diambil, difoto kemudian dikirimkan kepadanya.
"Foto ijazah kirim ke saya, saya berharap nilainya bagus, akan kami bantu daftar jadi polwan," ungkapnya.
Diketahui, Sukrani merupakan satu dari enam anggota KPPS di Kabupaten Tangerang yang tutup usia karena kelelahan saat mengawal pesta demokrasi beberapa waktu lalu.
Tak Sebanding dengan Uang
Elza Syarief sebagai pengacara dari komunitas kesehatan peduli bangsa, mengatakan bahwa nyawa Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) tak sebanding dengan uang.
"Bukan semudah itu nyawa manusia. Karena nyawa manusia itu yang tertinggi," kata Elza Syarief, di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Kamis (9/5/2019).
"Kalian coba misalnya ada saudara yang meninggal, dikasih Rp 36 juta sudah oke? Enggak kan? Karena bisa berhari-hari, bisa berbulan-bulan ingat masa hidupnya," lanjut Elza Syarief.
"Kan enggak begitu nyawa manusia. Bukan begitu perlakuannya. Mereka harusnya lebih peduli dengan perkara ini," sambungnya.
Elza, sapaannya, berharap agar pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa mencari solusi dari perkara tersebut.
"Saya bilang kalau untuk kemanusiaan ya harusnya persiapan ini bisa tidak mereka (KPU) persiapkan untuk dengan baik dan tidak ada korban lagi," tanya Elza.
"Kalau tidak bisa ya KPU harus mengorbankan tanggal 22 itu. Iya, harus diperpanjang lagi," lanjut Elza yang mengenakan kacamata.
Menyoal rekapitulasi suara di kawasan Jakarta Pusat, dia pun berharap agar pahlawan demokrasi tersebut tak ada lagi yang tumbang.
Maka itu, Elza mengimbau KPU agar tak berfokus dengan target semata.
Namun harus berfokus juga dengan kesehatan para KPPS di wilayah Jakarta.
"Ya KPU jangan hanya mau mengejar target tanggal dua-dua (22) sukses. Itu kan jadi merasa pekerjaan ini ya berarti dia kan tidak peduli. Nanti yang meninggal dikasih santunan lagi? Jangan sampai dan jangan begitu," tegasnya.
"Itu enggak bisa saya terima soal itu. Karena ini soal nyawa manusia," sambungnya.
Dia menegaskan, jangan sampai mengorbankan nyawa manusia yang tak bayarannya tak seberapa.
"Jangan mengorbankan nyawa manusia. Sudah, itu saja yang saya pikirkan," tegasnya.
Artinya, lanjut Elza, sistem penghitungan yang terkesan memaksakan ini harus diperbaiki.
"Bukan dihentikan. Ya dihentikan sementara untuk perbaiki manajemen ini," ujae Elza sambil berdiri.
"Habis itu lanjut lagi tidak apa-apa. Kan itu semuanya tercatat. Bukan oral. Semuanya ada C1, ada catatan-catatan, ada di IT. Kan enggak mungkin hilang kan. Tapi kalau manusia, bisahilangkan nyawanya," jelas Elza.
Dia pun berkeinginan untuk melakukan investigasi dengan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait.
"Pertama, kita ingin melakukan investigasi dengan tim pencari fakta. Apa sebabnya, kita melakukan otopsi, forensik, dengan kerja sama pihak kepolisian," ujarnya.
"Kan kita bisa lihat beban pekerjaannya KPPS yang besar. Yang katanya kelelahan saja itu bisa membuktikan pelanggaran hukum. Karena beban kita sehari kan normalnya 8 jam kerja," pungkasnya.
Jumlah petugas penyelenggara Pemilu 2019 yang meninggal dunia terus bertambah. Data sementara secara keseluruhan petugas yang tewas mencapai 554 orang, baik dari pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun personel Polri.
Berdasarkan data KPU per Sabtu (4/5) pukul 16.00 WIB, jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal sebanyak 440 orang. Sementara petugas yang sakit 3.788 orang.
Jumlah itu bertambah dari hari sebelumnya yaitu 424 orang. Begitu pula dengan petugas yang sakit juga bertambah dari hari sebelumnya yang mencapai 3.668 orang.