Mengenal 9 Hakim Konstitusi Penentu Akhir Sengketa Pilpres
Hasil akhir sengketa pemilihan presiden dan wakil presiden tersebut kini berada di tangan 9 Hakim Konstitusi.
Editor: Dewi Agustina
Suhartoyo yang merupakan hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar itu terpilih menjadi Hakim Konstitusi menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi yang habis masa jabatannya.
Pria kelahiran Sleman 15 November 1959 ini mendapat gelar sarjana di Universitas Islam Indonesia, pada 1983.
Ia kemudian melanjutkan program S-2 di Universitas Taruma Negara pada 2003. Suhartoyo kemudian mendapat gelar doktor di Universitas Jayabaya, pada 2014.
Suhartoyo terpilih menjadi Wakil ketua PN Kotabumi pada 1999. Kemudian menjadi Ketua PN Praya pada 2004.
Selanjutnya, ia menjadi Wakil Ketua PN Pontianak pada 2009, Ketua PN Pontianak pada 2010, Wakil Ketua PN Jakarta Timur pada 2011, serta Ketua PN Jakarta Selatan pada 2011.
7. Manahan M P Sitompul
Manahan Malontinge Pardamean Sitompul terpilih menggantikan Hakim Konstitusi Muhammad Alim yang memasuki masa purna jabatan April 2015. Sebelumnya, Manahan merupakan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin.
Manahan mendapat gelar sarjana Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara (USU), pada 1982. Ia kemudian melanjutkan program S2 Program Magister jurusan Hukum Bisnis USU, pada 2001.
Kemudian, Manahan menyelesaikan program doktor jurusan Hukum Bisnis USU, pada 2009. Karier hakimnya dimulai sejak dilantik di PN Kabanjahe pada 1986.
Pada 2002, dia dipercaya menjadi Ketua PN Simalungun. Pada 2003, ia dimutasi menjadi hakim di PN Pontianak dan pada 2005 diangkat sebagai Wakil Ketua PN Sragen.
Pada 2007, ia dipercaya sebagai Ketua PN Cilacap. Setelah itu, Manahan diangkat menjadi Hakim Tinggi Manado, pada 2010.
8. Saldi Isra
Pada 11 April 2017, Guru Besar Hukum Tata Negara Saldi Isra dilantik menggantikan Patrialis Akbar sebagai Hakim Konstitusi.
Pria kelahiran 20 Agustus 1968 tersebut berhasil menyisihkan dua nama calon hakim lainnya.
Saldi menuntaskan pendidikan pascasarjana dengan meraih gelar Master of Public Administration di Universitas Malaya, Malaysia pada 2001.
Kemudian pada 2009, ia berhasil menamatkan pendidikan Doktor di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan predikat lulus Cum Laude.
Setahun kemudian, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas.
Saldi dikenal aktif sebagai penulis baik di berbagai media massa maupun jurnal dalam lingkup nasional maupun internasional.
Saldi juga dikenal sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Unand yang memperhatikan isu-isu ketatanegaraan.
Ia juga terlibat aktif dalam gerakan antikorupsi di Indonesia.
Enny Nurbaningsih terpilih menggantikan Maria Farida Indrati sebagai Hakim Konstitusi perempuan di Indonesia.
Enny mendapat gelar sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pada 1981.
Perempuan kelahiran Pangkal Pinang, 27 Juni 1962 ini melanjutkan studi Hukum Tata Negara pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, pada 1995.
Dia menyelesaikan program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, pada 2005.
Enny tercatat pernah menjadi Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
Enny ikut membentuk Parliament Watch bersama-sama dengan Ketua MK periode 2008 – 2013 Mahfud MD pada 1998.
Enny juga memiliki rekam jejak karier yang beragam di bidang hukum.
Beberapa di antaranya seperti, Staf Ahli Hukum DPRD Kota Yogyakarta, Kepala Bidang Hukum dan Tata Laksana UGM, Sekretaris Umum Asosiasi Pengajar HTN-HAN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Legal consultant di Swisscontact hingga menjadi penasihat pada Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah. (Kompas.com/Abba Gabrillin)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jelang Sidang MK, Ini Profil 9 Hakim Konstitusi Penentu Akhir Sengketa Pilpres"