Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sidang Ketiga Sengketa Pilpres 2019: Hakim MK Ancam Usir BW hingga Haris Azhar Batal Bersaksi

Sidang ketiga Mahkamah Konstitusi tentang Sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 saat berita ini ditulis masih terus berlangsung, Rabu (19/6/2019

Penulis: Daryono
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
zoom-in Sidang Ketiga Sengketa Pilpres 2019: Hakim MK Ancam Usir BW hingga Haris Azhar Batal Bersaksi
tayangan Youtube Kompas TV
Tiga Hakim Majelis Konstitusi (MK), I Dewa Gede Palguna, Aswanto dan Suhartoyo menegur anggota tim hukum Jokowi-Maruf Amin, Sirra Prayuna. 

"Ada 17,5 juta NIK palsu, di mana tanggal lahir yang tidak wajar," ujar Agus.

Menurut Agus, dari 17,5 juta DPT, terdapat 9,8 juta pemilih yang tanggal lahirnya sama, yakni pada 1 Juli.

Kemudian, ada 5,3 juta yang lahir pada 31 Desember.

Selain itu, ada 2,3 juta yang lahir pada 1 Januari.

"Itu tidak wajar, karena yang lahir 1 Juli itu ada 20 kali lipat dari data normal," kata Agus.

Agus mengatakan, dia pernah berkoordinasi dengan ahli statistik dan dikatakan, data itu tidak wajar.

Agus memperkirakan dengan menghitung 195 juta pemilih dibagi 365 hari.

Berita Rekomendasi

Menurut Agus, angka wajar yang lahir pada 1 Juli adalah 520.000.

Dia mengaku juga pernah berkoordonasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Namun, menurut Agus, KPU dan Direktorat Jenderal Kependudukan pernah menyatakan, informasi itu benar.

Baca: Tim Jokowi-Maruf Tanya 1 Hal ke Agus Maksum, Tiga Hakim MK:Apa yang Ingin Anda Kejar?

Sebab, sesuai aturan, jika ada pemilih yang tidak ingat tanggal lahirnya, maka akan diberikan tanggal lahir oleh Ditjen Dukcapil.

Agus dapat menerima penjelasan itu.

Namun, menurut dia terdapat ketidakwajaran, karena jumlahnya terlalu besar.

Menurut perhitungan Agus, seharusnya yang dicatat lahir pada 1 Juli jumlahnya hanya 520.000 saja.

"Jadi alasan itu kami terima. Yang jadi tidak betul jumlahnya yang banyak 9,8 juta. Itu yang jadi atensi khusus," kata Agus.

4. Hakim MK tegur kuasa hukum 01

Hakim MK menegur anggota tim kuasa hukum paslon 01, Sirra Prayuna dalam lanjutan sidang sengketa Pilpres 2019.

Hakim MK menilai pertanyaan yang diajukan Sirra menjebak saksi dari tim Prabowo-Sandiaga, Agus Maksum.

Awalnya, Sirra menanyakan apakah Agus memahami instrumen apa yang digunakan untuk memvalidasi Daftar Pemilih Sementara (DPS) ke Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Sebelum Agus sempat menjawab, Hakim MK I Dewa Gede Palguna menginterupsi.

Palguna menanyakan, apa yang ingin dikejar oleh kuasa hukum pihak terkait melalui pertanyaan tersebut.

"Saya Majelis dari tadi berpikir apa yang mau Saudara kejar dengan pertanyaan Saudara ini?" tanya Palguna.

Sirra menjelaskan dirinya ingin menguji validitas dari data yang dipaparkan oleh Agus, misalnya soal data DPT bermasalah sebanyak 17,5 juta.

"Tapi apa perlu melingkar sejauh itu coba bisa enggak, lebih to the point supaya lebih efektif?" tambah Palguna.
Kemudian, Hakim MK Aswanto meminta Sirra mengajukan pertanyaan yang sesuai dengan posisi Agus sebagai saksi.

Ia juga meminta kuasa hukum tidak menggunakan pertanyaan yang menjebak saksi untuk berpendapat.

"Saya ingin ingatkan juga ini adalah saksi fakta. Dia bukan ahli. Pertanyaan kita jangan untuk ahli."

"Kalau saudara menanyakan titik mana itu untuk ahli itu. Dia gak ngerti. Supaya imbang, pertanyaan kita juga jangan menjebak untuk dia berpendapat," kata Aswanto.

5. Fisik Barang Bukti Tuduhan DPT 17,5 Juta Bermasalah Tak Ada

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mempertanyakan barang bukti P.155 berupa dokumen terkait tuduhan 17,5 juta pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah.

Bukti tersebut ternyata tidak ada dalam bukti fisik yang diserahkan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Ini kan kemarin sudah diverifikasi barang bukti, muncul P.155 yang disebut mengenai data 17,5 juta pemilih yang tidak wajar," ujar Enny.

Menurut Enny, bukti tersebut diperlukan untuk dikonfrontasi dengan bukti yang dimiliki termohon, yakni Komisi Pemilihan Umum ( KPU).

Menurut hakim Aswanto, dalam daftar bukti pemohon yang sudah diverifikasi, tercantum bukti P.155 tersebut.

Namun, setelah dicari, fisik bukti berupa dokumen itu tidak ada.

Tim kuasa hukum pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengatakan, anggota tim yang bertugas menangani barang bukti sedang mengurus verifikasi dokumen.

Hakim kemudian memberikan waktu hingga skors istirahat selesai bagi tim pemohon untuk mempersiapkan barang bukti yang diminta hakim.

6. Hakim MK Ancam Usir BW Keluar Sidang

Hakim MK, Arief Hidayat sempat mengancam Bambang Widjojanto untuk keluar dari persidangan jika tidak menghentikan ucapannya yang membela saksi. 

Saat itu, Arief Hidayat bertanya pada saksi pemohon mengenai keberadaannya saat Pilpres 2019.

Saksi yang dihadirkan tim hukum Prabowo-Sandiaga Uno menyatakan ia berada di kampung saat itu.

VIDEO Detik-detik Hakim MK Ancam Usir BW: Pak Bambang Stop, Kalau Tidak Stop Saya Suruh Keluar
Hakim MK Ancam Usir BW: Pak Bambang Stop, Kalau Tidak Stop Saya Suruh Keluar (tangkap layar KompasTV)

Hakim Arief pun bertanya apakah saksi akan menjelaskan berhubungan DPT di kampung saksi bukan berhubungan DPT nasional.

Sampai pada akhirnya, Ketua Tim Hukum Prabowo-Subianto, Bambang Widjojanto kemudian bersuara untuk membela saksi. 

Arief kemudian meminta BW tak melanjutkan ucapannya atau bakal dikeluarkan dari sidang. 

Simak videonya di bawah ini: 

7. Haris Azhar Batal Bersaksi

Salah satu saksi BPN, Haris Azhar yang sebelumnya sempat diajukan sebagai saksi batal bersaksi. 

Dikutip dari wawancara KompasTV dengan Haris Azhar, Haris menyatakan sebetulnya ia sudah diminta menjadi saksi jauh-jauh hari dan ia menyatakan siap. 

Namun, ia akhirnya tak bersedia bersaksi karena surat pemberitahuan yang disampaikan oleh BPN mendadak. 

Aktivis HAM Haris Azhar memberikan keterangan kepada wartawan mengenai peristiwa penyiraman air keras kepada penyidik senior KPK Novel Baswedan oleh dua orang tak dikenal, di gedung KPK, Jakarta, Selasa (11/4/2017). Mereka memberikan dukungan kepada KPK dan juga meminta presiden turun tangan dengan cara membentuk tim khusus guna mengusut kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. TRIBUNNEWS/HERUDIN
Aktivis HAM Haris Azhar memberikan keterangan kepada wartawan mengenai peristiwa penyiraman air keras kepada penyidik senior KPK Novel Baswedan oleh dua orang tak dikenal, di gedung KPK, Jakarta, Selasa (11/4/2017). Mereka memberikan dukungan kepada KPK dan juga meminta presiden turun tangan dengan cara membentuk tim khusus guna mengusut kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. TRIBUNNEWS/HERUDIN (TRIBUNNEWS/HERUDIN)

Haris mengaku, awalnya yang diminta bersaksi adalah mantan Kapolsek Pasirwangi, Garut, AKP Sulman Aziz. 

Haris Azhar yang menjadi pengacara Sulman Aziz diminta bersaksi oleh Sulman Aziz. 

Namun, surat permintaan bersaksi dari BPN ke Sulman Aziz disampaikan mendadak Selasa malam tadi.

"Saya merasa undangan ke Sulman Aziz terlalu mendadak," kata Haris. 

(TribunSolo.com/Fachri Sakti Nugroho/Sri Juliati/Rizal Bomantama) (Kompas.com/Abba Gabrillin/Kristian Erdianto)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas