John Riady: Backlog Perumahan di Indonesia Masih Tinggi
Backlog perumahan kita masih tinggi, sebab untuk ukuran Jakarta saja kepemilikan rumah hanya berkisar 50 persen
Penulis: Sanusi
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - CEO Lippo Karawaci Tbk John Riady menilai momentum perayaan separuh abad organisasi Realestat Indonesia (REI) selayaknya bisa memacu para pelaku usaha maupun pemerintah mencari cara dan strategi yang lebih kreatif mengikis backlog di setiap segmen pendapatan masyarakat.
“Faktanya, backlog perumahan kita masih tinggi. Sebab untuk ukuran Jakarta saja, kepemilikan rumah hanya berkisar 50 persen,” kata John.
Karena itu, lanjutnya, terbuka kesempatan sangat luas bagi seluruh pihak untuk mendongkrak peranan industri properti sebagai jembatan menuju kesejahteraan masyarakat secara luas. “Yang pasti pelaku usaha selalu buat terobosan mengikis angka backlog tersebut.”
Pada 11 Februari tahun ini, REI menapak usia ke-50. Peringatan usia setengah abad menjadi momentum para pelaku usaha sektor properti maupun seluruh pihak untuk menuntaskan problem properti di Indonesia, khususnya kendala backlog yang belum tuntas.
Baca juga: PUPR: Backlog Rumah 12,75 Juta, Belum Termasuk Pertumbuhan Keluarga Baru
Kondisi backlog atau kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan unit rumah, sebagaimana dicatat Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 12,75 juta unit.
Angka itu tentu belum termasuk pertumbuhan keluarga baru yang diperkirakan sekitar 700.000 hingga 800.000 keluarga setiap tahunnya. Padahal sebelumnya, pemerintah sering menyampaikan bahwa angka backlog rumah mencapai 11,4 juta unit.
Baca juga: REI: Kuota Rumah Subsidi Baru Terpenuhi 1 Juta Unit dari 11 Juta Backlog
Kondisi tersebut menurut John Riady dapat dilihat bahwa peran sektor properti selain membantu kepemilikan rumah layak kepada masyarakat, juga sebagai penyumbang pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Bahkan sektor properti mampu menyumbang 13 persen PDB (Produk Domestik Bruto) baik dari mulai penjualan, tanah, konstruksi dan lainnya.
Baca juga: Angka Backlog Rumah Diproyeksi Bisa Turun Menjadi 4 juta-4,5 Juta pada Akhir 2030
Hal senada diungkapkan Ketua Umum REI Paulus Totok Lusida optimistis bahwa sektor properti adalah salah satu pendorong terkuat perekonomian nasional. Pasalnya, sektor ini memiliki efek domino kepada sedikitnya 174 industri terkait.
Persoalannya, hingga kini kemampuan industri properti dan upaya pemerintah menyelesaikan problem backlog belum mencapai hasil memuaskan.
"Untuk rumah subsidi REI menyumbang lebih dari 60 persen dari total rumah subsidi yang dibangun, serta 80 persen untuk sektor komersial,” kata dia.
Baca juga: Backlog Perumahan Terjadi di Generasi Milenial, Begini Strategi Perumnas Penuhi Kebutuhan Mereka
Pada sisi lain, persoalan ketiadaan rumah inipun tidak saja meliputi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) seperti disasar oleh program perumahan dari pemerintah. Melainkan pula menjadi problem masyarakat kelas menengah terutamanya di kota-kota besar.
Bagi pemain properti, menurut John, tingginya backlog perumahan menjadi peluang bagi industri properti. “Kami di LPKR pun merasa optimistis sektor ini kembali meraih pertumbuhan pada tahun ini, terlebih lagi di tengah tren pemulihan meskipun terjadi lonjakan kasus Covid-19,” ungkap John.
John mengungkapkan LPKR optimistis kembali meningkatkan kinerja bisnis properti pada tahun ini. LPKR menargetkan prapenjualan pada 2022 akan mencapai Rp 5,2 triliun, naik 5 persen dari realisasi tahun lalu Rp 4,96 triliun.
Strategi LPKR antara lain meluncurkan klaster baru produk rumah tapak dengan harga terjangkau. Salah satunya adalah menggagas proyek Cendana Homes Series pada awal tahun ini.
Cendana Cove Verdant yang diluncurkan pada 12 Februari 2022 menjadi produk unggulan LPKR pada awal tahun dengan harga Gen Z mulai Rp 700-an juta.
Dengan terobosan-terobosan demikian, simpul John, pelaku usaha berupaya mengikis backlog. Sebaliknya, pemerintah sudah sangat mendukung upaya tersebut dengan mematok bunga rendah, hingga pemberian insentif fiskal.