Arsitek Indonesia Didorong Hadirkan Rancangan Rumah Berbasis Net Zero
Saat ini pembangunan kota-kota dunia mengarah pada upaya menunjukkan kecerdasan dalam menggunakan dan mengelola sumber daya alam.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Green Building Council Indonesia (GBCI) Iwan Prijanto menyatakan, saat ini pembangunan kota-kota dunia mengarah pada upaya menunjukkan kecerdasan dalam menggunakan dan mengelola sumber daya alam.
Karena itu, sudah semestinya arsitek dan desainer Indonesia melahirkan solusi perancangan berbasis Net Zero Healthy Building yang efektif sehingga mampu mengurangi laju pertumbuhan emisi karbon ke lingkungan.
Net zero adalah keseimbangan antara jumlah gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dan jumlah yang dibuang dari atmosfer yang bisa dicapai melalui kombinasi pengurangan emisi dan penghapusan emisi.
"Upaya total Net Zero tidak akan tercapai bila perilaku dan desain bangunan kita masih boros sumber daya," kata Iwan di sela pengumuman pemenang Onduline Green Roof Awards (OGRA) 2023 ASIA di Tangerang belum lama ini.
OGRA 2023 merupakan ajang penghargaan untuk arsitek, desainer dalam lomba desain bangunan berdasarkan fitur-fitur hijau, ramah alam, dan hemat energi yang paling menonjol diterapkan di sebuah rancang bangun rumah tinggal.
Dikatakannya, untuk menghasikan karya bangunan hijau, maka perlu upaya sistemik, komprehensif dan multidisiplin yang harus dilakukan sejak penentuan dan perancangan tapak, pemilihan material bangunan, hingga merancang massa bangunannya.
"Tujuannya agar menghasilkan nilai tambah, memiliki estetika tinggi namun dengan sumber daya konstruksi dan operasi serendah mungkin," katanya.
Prinsipal Architect Archimetric Ivan Priatman mengatakan, mentransformasi peradaban Indonesia menuju pembangunan yang hemat energi dan berdampak rendah adalah sebuah keniscayaan.
Baca juga: Arsitek Jepang Perancang Osaka Expo 2025 Ubah Konsep Desain dari Kubus Jadi Bundar
Selama ini paling besar penggunaan energi pada bangunan disebabkan oleh proses-proses menciptakan iklim buatan dalam ruangan melalui pemanasan, pendinginan, ventilasi dan pencahayaan. Konsumsi energi umumnya memakan minimal 25 persen dari total biaya operasional.
Manifestasinya bisa dimulai dari pengendalian diri konsumsi energi dilanjutkan dengan pemanfaatan metode dan teknologi efisensi energi dan memaksimalkan penggunaan renewable energy.
Baca juga: Arsitek Jepang Bangun Rumah Sakit Ukraina 80 Juta USD Biaya Konsorsium
“Konsep bangunan hemat energi memang memungkinkan biaya pembangunan besar di awal, namun dengan mendorong penghuni untuk menggunakan analis biaya siklus, mereka dapat melihat keuntungan dari rumah hemat energi dalam jangka panjang, baik secara biaya operasional maupun biaya pemeliharaan,” ujarnya.
Desainer Indonesia sendiri sebenarnya telah berani menampilkan desainer yang mampu menonjolkan respons atas berbagai isu teknologi, lingkungan, sosial ekonomi, dan budaya yang memengaruhi konstruksi kontemporer dan menawarkan solusi visioner terhadap cara membangun.
Baca juga: Kritik Desain Rumah Baru Atta Halilintar yang Mirip Transformers, Aurel Heran Tak Ada Kamar Anak
Terbukti lima arsitek Indonesia berhasil memborong seluruh podium juara di ajang kompetisi Onduline Green Roof Awards (OGRA) 2023 Asia dengan juri Onduline Asia Pacific Director Onduline Olivier Guilluy, Ketua GBCI Iwan Prijanto, Prinsipal Archimetric Architect Ivan Priatman, serta Arsitek dan Perencana Kota asal Filipina Felino 'Jun' Palafox Jr.
Mereka adalah desain The Green Passage merupakan karya Arsitek Tobias Kea Suksmalana, Jaro Ngaso (Arsitek Prayoga Arya), Mahawa-The Breathing House, Indonesia (karya Arsitek Sahlan), Tropicool Roof, Indonesia (Arsitek Dwi Nurul Ilmih) dan Padi Dhara karya Arsitek Partogi.
Meraih juara pertama OGRA 2023 ASIA, Tobias memanfaatkan momen renovasi sebuah rumah di Kampung Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah, sebagai studi desainnya.
Arsitektur tradisional menjadi prinsip dasar rancangan desain yang mengedepankan passive design dan zero energy sebagai tema besar kompetisi.
“Titik awal desain saya adalah menyeimbangkan tanggung jawab terhadap lingkungan dan melihat keseluruhan sistem yang saling terkait, baik orientasi, bentuk, dan pemilihan bahan bangunan yang disesuaikan dengan iklim mikro di Indonesia.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk berkreasi dengan desain pasif. Salah satunya, memanfaatkan potensi energi angin dari koridor jalanan kampung yang masuk ke dalam rumah melalui jendela dan atap,” papar Sarjana Arsitektur jebolan Universitas Gajah Mada ini.
Tobias mengombinasikan massa bangunan dan detail arsitektur secara seksama untuk memastikan adanya ventilasi silang di dalam rumah.
Sentuhan material kayu bekas pada struktur tiang dan atap rumah tak hanya melugaskan kesan rumah adat masa lampau, namun juga menghadirkan sirkulasi udara yang baik dan menciptakan privasi penghuni.
Dengan menggunakan material kayu bekas tersebut kita dapat menghemat sekitar 50-70% biaya material kayu.
Genteng tanah liat bekas juga bisa dikreasikan sebagai finishing lantai. Selain dari aspek biaya, penggunaan material ini juga merupakan upaya pengurangan emisi karbon,” jelasnya.