Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Ramadan

Membaca Sejarah Masjid Al Mukarromah di Kampung Bandan

Di mana letak Masjid Al Mukaromah di Kampung Bandan yang kondang dengan cerita sejarah penyebaran agama Islam di Batavia khususnya

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Membaca Sejarah Masjid Al Mukarromah di Kampung Bandan
taufikismail.co.id
Masjid al Mukarromah Kampungbandan 

TRIBUNNEWS.COM -- Di mana letak Masjid Al Mukaromah di Kampung Bandan yang kondang dengan cerita sejarah penyebaran agama Islam di Batavia khususnya dan pulau Jawa pada umumnya? Lebih mudah datang melalui Mangga Dua, belok kiri di pertigaan Ancol dan sekitar satu kilo kemudian Anda sudah sampai di Kampung Bandan. Masjid tersebut persisnya berada di Jalan Lodan Raya, di sisi utara jalan tol Pluit-Tanjungpriuk.
    
Bentuk bangunan khas abad 18 menjadikan masjid itu dengan mudah ditemukan. Hanya saja, letak masjid sangat berhimpit dengan Jalan Lodan Raya, karena lahan terus terkena proyek pelebaran jalan. Akibatnya, hanya sepeda motor milik jamaah saja yang bisa parkir di area masjid. Sementara, kendaraan roda empat parkir di tepian Jalan Lodan Raya.
    
Tiang-tiang rendah menyambut jamaah ketika baru masuk ke dalam masjid. Pada kunjungan Warta Kota Rabu (1/7/2014), di aula masjid bagian luar tampak beberapa peziarah yang sedang beristirahat.

Sementara, masuk ke ruangan selanjutnya, terdapat beberapa makam dari para habib mulia yakni makam Habib Mohammad bin Umar Al-Qudsi (wafat pada 23 Muharram 1118 H), Habib Ali bin Abdurrahman Ba’ Alwi (wafat 15 Ramadhan 1122 H), dan Habib Abdurahman bin Alwi Asy-Syathri (wafat 18 Muharam 1326 H), pendiri masjid itu.
    
Makam ketiga habib ditutup dengan gorden putih kombinasi kain hijau dengan lafaz arab di sekelilingnya. Sementara itu, satu makam lain juga ada di sana, yakni makam Habib Ali Bin Alwi bin Abdurrahmaa Asy-Syathri yang wafat pada Jumat 13 Agustus 2010.
    
Usai menjalankan salat ashar berjamaah, masyarakat sekitar serta para peziarah duduk mengelilingi makam. Mereka khusuk membacakan ayat suci Al-quran sekaligus mendoakan para habib, khususnya dua habib, Habib Mohammad bin Umar Al-Qudsi dan Habib Ali bin Abdurrahman Ba’ Alwi yang telah berjasa bagi penyebaran agama Islam di tanah Jawa pada abad 16 sampai awal abad 17.
    
"Kalau bulan ramadan peziarah tidak sebanyak bulan-bulan lain khususnya bulan rajab, sya'ban dan maulid. Pada bulan-bulan itu hampir setiap hari banyak peziarah datang. Di bulan ramadan, paling ramai ya saat digelar khaul tanggal 12 ramadan malam. Masjid akan penuh sesak oleh peziarah," terang Rizal (34), seorang pengurus masjid yang sore itu menemani Warta Kota berkeliling area masjid, Rabu (1/7/2014).
    
Peziarah yang datang tidak hanya masyarakat DKI Jakarta. Kata Rizal, peziarah dari berbagai daerah, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur bahkan dari luar pulau seperti Sumatera, Kalimantan atau Sulawesi juga banyak yang datang berziarah.
    
Wisata Rohani Bulan Ramadan
    
Pada kunjungan Warta Kota Rabu (1/7/2014), beberapa rombongan masyarakat datang ke Masjid Al Mukaromah. Salah satunya rombongan Angie (18). Bersama lima rekannya dari Kampus Universitas Indonesia, Depok, ia mengaku sengaja datang untuk berwisata rohani, sembari ngabuburit menunggu jam buka puasa tiba.
    
“Memang sengaja datang ke beberapa masjid bersejarah di Jakarta. Tadi baru ke Masjid Lautze (Jakarta Pusat), sekarang ke sini,” kata Anggie ang datang dengan mobil Toyota Avanza warna silver.
    
Di sana ia melakukan shalat ashar, melihat-lihat pemakaman keramat, lalu memotret beberapa bagian masjid bersejarah itu. Sebagai muslimah muda, menurut Angie, berkunjung ke tempat-tempat bersejarah, utamanya yang berkaitan dengan penyebaran atau perkembangan Islam lebih penting dan bermanfaat ketimbang pada bulan ramadan menghabiskan waktu di mal atau ke tempat-tempat hiburan lain.
    
“Saya juga terus terang baru tahun ini melihat bangunan-bangunan bersejarah seperti ini. itu juga karena diajak teman saya. Tapi, saya bisa mengambil manfaat besar ketimbang saya harus jalan ke mal, misalnya. Jadi bisa merenungi jasa para wali Allah dalam menyebarkan agama Islam,” kata Angie.
    
Selama bulan ramadan, meskipun jumlah peziarah turun, jamaah Masjid Al Mukaromah bertambah. Kata Rizal, pada shalat tarawih hari pertama bulan ramadan lalu, masjid seluas 700 meter persegi tak bisa menampung semua jamaah.
    
“Padahal daya tampung masjid 1000 orang. Tapi pada salat tarawih hari pertama ramadan kemarin, jamaah sampai membludak keluar masjid,” terang Rizal. “Tapi biasanya pada siang atau sore hari selama ramadan, banyak masyarakat yang sekadar datang, melihat-lihat masjid ini sebagai wisata rohani,” imbuhnya.
    
Selama ramadan ini pula, pengelola masjid menyediakan takjil dan buka bersama bagi masyarakat dan peziarah yang datang ke Masjid Al Mukaromah. Setiap harinya, sebanyak 1000 takjil disiapkan.
    
Soal keberadaan musafir, Rizal menjelaskan, saat ini pihaknya memberlakukan peraturan yang lebih ketat dibanding tahun-tahun sebelumnya. “Bukan kita melarang. Tapi sebelum sekarang banyak sekali musafir yang menginap di masjid. Banyak pula yang mengadu kepada pengurus mereka kehilangan barang. Kami jadi tidak enak. Makanya, sekarang kami berlakukan, siapa saja yang ingin menginap di masjid, khususnya musafir, harus ijin dulu dengan menyertakan data diri,” jelasnya.
    
Pencarian Dua Habib Berpengaruh
    
Masjid Al Mukaromah didirikan pada 1789 oleh Habib Abdurrahman Bin Alwi Asy-Syathri, seorang ulama yang berdakwah di Jakarta. itu berawal ketika sekitar tahun 1870 an, datang ke rumah Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas di daerah Empang, Bogor, Jawa Barat.
    
Saat di sana, Habib Abdurrahman diminta menelusuri dua makam ulama besar, Habib Mohammad bin Umar Al-Qudsi dan Habib Ali bin Abdurrahman Ba’ Alwi yang telah berjasa bagi penyebaran agama Islam di tanah Jawa pada abad 16 sampai awal abad 17. Saat itu, belum diketahui keberadaan makam dua habib itu. Hanya ada informasi dua habib berpengaruh tersebut dimakamkan di daerah Batavia.
    
Setelah melakukan pencarian, Habib Abdurrahman menemukan makam yang dimaksud. Lokasi makam yang berada di pesisir pantai itu saat itu dikelilingi rawa dan pepohonan. Habib Abdurrahman kemudian membuat bangunan kecil di dekat makam.
    
Lambat laun, semakin banyak para peziarah yang datang ke makam dua habib itu. Habib Abdurrahman akhirnya mendirikan sebuah surau dan mengelola surau serta pemakaman keramat itu hingga akhirnya ia wafat dan digantikan oleh anaknya, Habib Alwi Asy-Sathri. Jenazah Habib Abdurrahman dikuburkan di samping kedua makam wali.
    
Adapun soal penamaan Kampung Bandan, dijelaskan Rizal selaku salah satu pengurus masjid, ada beberapa kisah yang beredar di kalangan masyarakat sekitar. Cerita pertama, soal adanya cerita orang-orang dari Pulau Banda yang ditawan Belanda dan dibawa ke Ancol. Mereka lalu tinggal di sana. Karena pengucapannya, Banda kemudian biasa disebut Bandan. Cerita kedua, dulunya di tempat itu banyak terdapat pohon pandan dan lambat laun masyarakat menyebutnya sebagai daerah bandan atau Kampung Bandan.
    
Menurut keturunan keempat Habib Abdurrahman Bin Alwi Asy-Syathri yang dipercaya mengurus masjid Masjid Al Mukaromah saat ini, Habib Alwi Bin Ali Asy-Syathri, sekitar 1947, Habib Alwi Asy-Sathri selaku pengurus surau dan makam saat ini, memperbesar surau menjadi masjid dengan ditopang dengan 12 tiang.
    
“Dulunya hanya disebut Masjid Keramat Kampung Bandan. Di tahun sama, namanya dirubah jadi Masjid Jami Al Mukaromah,” jelasnya.
    
Menyimpan cerita sejarah yang cukup penting, pada tahun 1972, Dinas Museum Purbakala Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memasukkan Masjid Kramat Kampung Bandan menjadi salah satu cagar budaya yang bangunannya harus dilindungi.
    
Menurut Habib Alwi, masjid ini sudah tiga kali dipugar. Pertama pada tahun 1979-1980, yang kedua pada tahun 1989-1990, dan yang terakhir pada tahun 2000-2001 dimana dilakukan peninggian pada bangunan masjid. Meski dilakukan pemugaran besar-besaran, namun desain bangunan masih mempertahankan bentuk bangunan pertama, agar menjaga keaslian dan nilai dari sejarah dari masjid itu sendiri.
    
“Dana pemugaran berasal dari pemerintah setiap sepuluh tahun sekali, sedangkan untuk dana pemeliharaan rutin, pengurus masjid mendapatkannya dari infaq shalat Jumat dan para peziarah,” katanya.
    
Pada tahun 2006-2007, ditambahkan Rizal, masjid sempat mengalami kebanjiran. Saat itu pengelola masjid sempat mengadukannya ke Pemprov DKI Jakarta, namun tidak ada respon positif. “Akhirnya kita gunakan dana dari infaq untuk melakukan peninggian. Alhamdulillah, setelah ditinggikan sekitar satu meter, sampai sekarang masjid tidak kebanjiran lagi,” jelasnya.
    
Tiga pohon kurma
    
Sisi menarik lain di Masjid Al Mukaromah, adanya tiga pohon kurma. Dua pohon kurma tumbuh di sisi kanan bangunan masjid atau yang saat ini menjadi tempat parkir sepeda motor, satu pohon lain berada di dalam area masjid atau di dekat tempat wudhu.
    
Menurut Rizal, ketiga pohon kurma itu tumbuh dengan sendirinya, tanpa ada yang menanam. “Adanya pohon itu sudah lama, sejak 1970an. Tidak ada yang tahu siapa yang menanam, tiba-tiba tumbuh sendiri,” jelasnya. Saat ini ketiga pohon itu telah berbuah dan menjadi pemandangan tersendiri bagi masyarakat yang berkunjung ke Masjid Al Mukaromah. (Feryanto Hadi)

Sumber: Warta Kota
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas