Pengusaha Songkok di Pasuruan Penen Puluhan Juta Rupiah di Bulan Ramadan
Suasana ramai tampak di sebuah rumah di Desa Ngembe, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, Sabtu (5/7/2014) siang itu.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, PASURUAN- Suasana ramai tampak di sebuah rumah di Desa Ngembe, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, Sabtu (5/7/2014) siang itu. Sejumlah pria dan wanita tampak sibuk dengan pekerjaanya masing-masing.
Ada yang sedang menjahit, memotong kain, ada pula beberapa pemuda sedang sibuk memasukan tumpukan songkok atau kopiah ke dalam mobil.
Puluhan pria dan wanita yang rara-rata masih muda itu merupakan karyawan yang bekerja kepada Akhmad (42) seorang pengrajin songkok. Pria kelahiran Rembang, Pasuruan pada bulan Ramadan ini tengah sibuk memproduksi songkok pesanan dari berbagai daerah di Indonesia.
"Ya seperti ini kondisinya kalau bulan Ramadan, hampir tidak ada istirahatnya. Paling istirahat kalau pas buka puasa sama sahur saja," kata ayah lima orang putra ini saat ditemui, Sabtu (5/7/2014) di rumahnya yang dijadikan tempat produksi songket ini.
Ia menuturkan, hampir setap tahun pada bulan haji dan bulan ramdhan ia selalu kebanjiran pesanan songkok dari berbagai darah di Indonesia. Khusus pada bulan Ramadan, produksi songkoknya meningkat hingga dua kali lipat dari bulan-bulan biasa,
Ahmad mengaku sudah sekitar 20 tahun ia menggeluti usaha pembuatan songkok dan juga rukuh yang ia mulai dari nol. Awalnya, dia mempelajari teknik pembuatan songkok dari seorang pengusaha songkok asal Bangil bernama H Dimyati. Selama delapan tahun ia bekerja sebagai karyawan di tempat itu.
Akhirnya, ia mulai mencoba-coba untuk membuat songkok sendiri. Usai pulang dari bekerja, di rumah ia mencoba sedikit-sedikit membuat songkok, kemudian ia jual sendiri. Kemudian, terpikir olehnya untuk mencoba membuka usaha songkok, dengan modal uang gajinya yang ia sisihkan setiap bulan.
"Dulu waktu masih bekerja, saya menabung. Kemudian uangnya saya sisihkan untuk modal beli kain. Waktu itu kain masih murah, sekitar Rp 750 per meter," terangnya.
Merasa sudah memiliki kemampuan, akhirnya dia berhenti bekerja dan menekuni usahanya sendiri. Dikatakan Ahmad, pada saat awal-awal semua pekerjaan ia lakukan sendiri dan dibantu istrinya Nur Safaan (32). Mulai dari belanja kain, produksi, hingga pemasaran, semua ia kerjakan sendiri karena belum memiliki karyawan.
Setelah beberapa tahun, akhirnya songkok yang ia beri merk Al- Falah itu sudah mulai dikenal di sejumal toko di berbagai daerah. Pesanan songkok pun terus meningkay, hingga akhirnya ia merekrut karyawan untuk membantunya. Kini, dirinya telah mempekerjakan lebih dari 30 karyawan yang kebanyakan merupakan warga yang tinggal di sekitar rumahnya.
Akhmad mengatakan, kopiahnya banyak disukai karena terasa nyaman dan pas saat dipakai. Dia mengaku mempunyai trik tersendiri, agar songkok buatannya nyaman pada saat dipakai.
"Kalau dipakai pasti nyaman. Kan ada biasanya kopiah kalau dipakai naik sepeda motor terlepas. Kalau kopiah saya tidak,biar naik sepeda motor juga nggak bakalan jatuh," terangnya.
Pria lulusan sekolah dasar ini mengatakan, agar pasar tidak bosan, dia selalu memperbarui model-model bordiran pada songkok produksinya. Sudah ada sekitar 20 motif yang ia buat. Setiap motif ia beri nama unik, agar lebih menarik para pembeli.
Beberapa nama tersebut yaitu, songkok jenis Al-Haromin, Sahara, Malaysia, NTB, Dapak, Madina, Jefry, Bangladesh, Haromin, Mekah Al-Mukarumoah, dan masih banyak lagi. Setiap daerah, kata Akhmad memiliki selera pasar yang berbeda-beda.
Untuk seri Madina. Shara dan Al-Haromin, biasanya banyak laku di Pasuruan. Sementara di Palembang dan Makasar, jenis songkok Al-Haromin Pita yang paling disukai. Sementara di Jakarta songkok Malaysia dan Jefry yang paling banyak dicari.
Dari semua daerah di Indonesia, Surabaya dan Jakarta merupakan daerah yang banyak mengambil songkok hasil produksinya.
"Seminggu sekali, bisa ngambil 300 kodi," ucapnya.
Untuk soal harga, songkokmiliknya ia jual dengan harga bervariasi, mulai Rp 3000 hingga Rp 40.000 per bijinya. Harga tersebut untuk tengkulak, biasanya di toko songkok miliknya, dijual Rp 10.000 hingga Rp 80.000.
Pada hari-hari normal, biasnaya ia mampu memproduksi 75 kodi dalam seminggu. Namun, khsuus bulan-bulan tertentu, seperti bulan Ramadan ia memproduksihingga 150 kodi per minggu.
Tiga tahun silam, usaha songkoknya sudah pernah mencapai pasar luar negeri. Hampir setiap bulan haji dan bulan Ramadan, ia mendapat pesanan dari Malaysia hingga Arab Saudi.
"Kalau tiga tahun lalu, banyak pesanna dari luar negeri. Dari Malaysia dan Arab Saudi. Tapi sudah tiga tahun ini mereka tidak pesan lagi," kata Akhmad.
Meski demikian, kata Akhmad, hal itu tidak mengurangi omset atau produksinya. Sebab, kata Akhmad, pasar di Indonesia juga masih sangat luas. Untuk melayani pesanan dari dalam negeri saja, dirinya mengaku masih kewalahan.