Menemukan Diri dan Tuhan
Di luar bawah sadar sering kita berkata saya ini dan itu. Tapi pernahkah bertanya dalam batin saat diri kita berpikir tentang kebesaran Tuhan?
Editor: Y Gustaman
Oleh: KH. Cholil Nafis, Lc., Ph D, Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat dan Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PB NU
Dalam sebuah perenungan sederhana, kadang kita bertanya dalam hati, siapa sebenarnya diri kita? Di luar bawah sadar sering berkata, saya adalah orang terhormat, saya adalah pimpinan perusahaan, bos di kantor, politikus senior, saya ini dan itu. Tapi pernahkah bertanya dalam batin saat diri kita berpikir tentang kebesaran Tuhan?
Jika pertanyaan itu diajukan dalam ranah spiritual, maka saya bisa pastikan tidak ada yang mampu mendefinisikannya dengan sempurna. Kenapa? Iya, siapa yang bisa menjawab bagaimana tingkat ketakwaannya? Siapa pula yang mampu memastikan kualitas imannya. Karena takwa dan iman adalah unsur spiritual yang tidak akan pernah bisa diketahui dan diukur dengan instrumen fisik atau matematis. Lain halnya dengan definsi fisik pada diri seseorang akan sangat mudah, seperti berapa tinggi dan berat badannya, berapa kekayaannya, apa jabatannya, dan lain-lain.
Untuk mendefisikan tentang diri, hal yang bisa kita lakukan adalah bagaimana kita menemukan hakikat kedirian itu sendiri? Dalam sebuah hadits yang sangat dikenal: "man ‘arafa nafsahu, faqad arafa rabbahu." Barang siapa yang memahami hakikat dirinya, maka dia akan memahami Tuhan-Nya. Poin penting dari hadis tersebut adalah bahwa “pemahaman diri” menjadi pintu utama untuk memahami Tuhannya.
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Kimia’ al-Sa’adah, menggambarkan manusia terdiri dari tiga sifat. Pertama, sifat bahimiyah (kebinatangan). Binatang memiliki tugas hidup, makan, minum, tidur, berhubungan seksual dengan lawan jenisnya, bertengkar dengan sesamanya, dan lain-lain. Tugas-tugas hidupnya terkait dengan unsur jasmaniah, fisikal, yang dibantu oleh daya insting-nya. Jika keseharian kita hanya mampu melakukan seperti sifat yang dimiliki oleh binatang, maka hidup ini persis seperti binatang. Tidak memiliki makna apapun kecuali hanya kesenangan material.
Kedua, sifat syaithaniyah (setan). Setan memiliki pekerjaan sehari-hari dengan menipu, dusta, fitnah, mengadu domba, hasad, dan lain-lain. Jika dibandingkan dengan kebiasaan binatang yang bersifat fisik, setan bermain pada wilayah perilaku abstrak non-fisik.
Pertanyaan kemudian muncul, apakah kita selama ini telah melakukan atau bahkan membiasakan diri seperti perilaku-perilaku itu? Jika iya maka kita bisa disebut sebagai orang yang berperilaku seperti setan. Dalam QS: An-Nas: 4-6: dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa tersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia.
Ketiga, sifat malakutiyah (malaikat). Malaikat adalah makhluk Allah yang paling taat. Mereka tidak dikaruniai nafsu. Maka tugas utama mereka adalah menjalankan apa yang Allah perintahkan, dan menjauhi apa yang Allah larang (QS: Al-Tahrim: 6). Malaikat adalah makhluk spiritual, makhluk yang terbuat dari unsur-unsur kebaikan. Maka ketika manusia mampu bersikap dan berperilaku seperti layaknya malaikat, maka akan terpancar dalam hidupnya sebagai orang yang memiliki cahaya kebaikan dan spiritual yang tinggi.
Setelah kita memahami gambaran diri tersebut, muncul pertanyaan, kita masuk kategori manusia yang mana? Dominan sifat kebinatangan kah? Dominan sifat setan kah? Dominan sifat malaikat kah? Atau campuran dari ketiganya?
Dalam pandangan psikolog muslim seperti Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, dan lain-lain, di dalam diri manusia terdapat daya-daya jiwa. Setiap hari daya-daya jiwa itu terus berdinamika untuk saling menguasai. Kekuatan akal, hati, dan nafsu, akan saling mempengaruhi, sehingga tergambar dalam sikap dan perilaku, termasuk membentuk dalam level keyakinan.
Oleh karena itu, sebagai makhluk Tuhan yang dikarunia tiga kekuatan daya jiwa, yaitu akal, hati, dan nafs, mari kita jadikan sebagai modal penting untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Jika kita mampu memahami hakikat diri kita, bagaimana kita mampu mengendalikan kehendak nafsu yang cenderung pada unsur-unsur material (kejahatan atau kemaksiatan), maka kita akan menjadi diri yang bersih, suci, dan mampu teraktual dalam sikap dan perilaku terpuji.
Cara yang paling tepat untuk menemukan diri dan Tuhan adalah ketika kita mampu merenungi daya jiwa diri kita dalam keheningan, apalagi di bulan Ramadhan yang benuh berkah ini.