Yang Diburu Pemudik itu Namanya Tahu Palasari Sumedang
Berada di Sumedang, tanpa membeli tahu, rasanya kurang lengkap.
Editor: Gusti Sawabi
Persaingan ketat
Tahu Sumedang Bungkeng misalnya, yang didirikan pada tahun 1917.
Namun dengan maraknya penjual tahu Sumedang di kota tersebut, baik yang berjualan di toko maupun yang merupakan pedagang kaki lima, bagaimana caranya agar tahu Bungkeng tetap dapat bersaing?
"Kalau ini tahunya enggak ada formalin, jadi awet dua hari. Jadi beli ke sini mah, karena awet tahunya," kata Rega Dewi Kartika, pekerja di toko Bungkeng.
Meski terdapat ratusan penjual tahu Sumedang, Dwiyani Logistika Rini tak ingin membeli tahu lain selain tahu Sumedang Bungkeng.
Dwiyani sudah 13 tahun tinggal di Sumedang dan dia enggan membeli sembarang tahu Sumedang.
"Udah nyoba ujung ke ujunglah, kebetulan cocok di sini. Semua tahu udah dicobain, kebetulan senang kuliner dengan suami. Jadi cobain satu-satunya, jadi kalau saudara datang, kita bisa ngasih referensi," tutur Dwiyani.
Tidak dapat dipungkuri, tidak semua pembeli peduli dengan rasa.
Terkadang terdapat pembeli yang membeli produk cenderung berdasarkan lokasi, seperti Aris Sudrajat.
"Ya, yang dekat aja sih yang lumayan enak juga. Kebetulan ini juga yang paling dekat dengan rumah. Kalau rasa sih, tergantung gimana lidah kita aja, kalau menurut saya sih sama saja gitu," ujar Aris.
Oleh karena itu, para pedagang yang harus pandai memutar strategi bagaimana bisnis mereka dapat bertahan.
Yayang contohnya memutuskan untuk menjual makanan lain selain tahu seperti mie dan lontong.
Membuka rumah makan hanyalah salah satu strategi, agar pengunjung tetap membeli tahunya.
"Ya kita menjaga kualitas, dan pelayanan. Itu yang utamanya. Dijaga kualitas dengan rasa yang tetap kita pertahankan," kata Yayang.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.