Menikmati Takjil Bubur Suro, Warisan Peninggalan Sunan Bonang
Menjadikan bubur suro sebagai takjil untuk orang-orang yang berbuka berpuasa selalu dipertahankan pengurus Yayasan Sunan Bonang.
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Surya, Iksan Fauzi
SURYA.CO.ID, TUBAN - Saban Ramadan pengurus Yayasan Sunan Bonang memasak bubur suro untuk orang-orang yang berbuka berpuasa di sekitar makam Sunan Bonang, Tuban.
Pada Selasa (7/6/2016) sekitar pukul 13.00 WIB, para juru masak bubur suro sudah mempersiapkan beragam bumbu kare. Sebagian lagi memeras parutan kelapa yang mengeluarkan santan.
Di samping para perempuan itu, ada empat laki-laki mempersiapkan perapian menggunakan kayu. Mereka memasak di bawah lindungan seng yang berada di pojok halaman masjid Bonang.
Pantauan Surya, Ada dua wajan besar dari kuningan yang akan digunakan memasak bubur. Butuh waktu sekitar 2,5 jam sampai tiga jam untuk membuat bubur suro sebelum disajikan.
Bahan yang digunakan untuk membuat bubur, yakni, beras seberat 12 kilogram, balungan daging sapi 10 kilogram, daging sapi yang sudah dicacah 6 kilogram, dan santan kelapa.
Mulanya para juru masak memasukkan balungan ke wajan yang sudah berisi air lebih dulu, kemudian daging. Sekitar tiga 30 menit kemudian beras dimasukkan ke dalam wajan.
"Bubur ini merupakan tradisi sejak zaman Sunan Bonang hidup dan memiliki nilai perjuangan. Bedanya, dulu bubur dicampur daging kambing, sekarang menggunakan daging sapi,” cerita Ihwan Hadi, pengurus Yayasan Sunan Bonang saat ditemui di lokasi.
Menurut Wikipedia, Sunan Bonang lahir pada 1465 dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Ia putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila.
Nama Sunan Bonang diduga adalah Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti nama ayahnya Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel. Sunan Bonang wafat pada 1525 Masehi.
Penggunaan daging sapi sebagai ganti daging kambing, kata Ihwan, memiliki alasan. Lantaran banyak orang tidak suka daging kambing. Para pencari takjil lebih senang makan bubur bercampur daging sapi.
Berbeda dengan takjil di masjid-masjid lain yang memberikan nasi kemasan kota atau bungkusan, pengurus masjid Sunan Bonang tetap mengikuti tradisi lama, yaitu memberikan bubur, selain juga murah.
"Takjil berupa nasi mahal, perlu lauk pauk. Kalau takjil bubur lebih murah dan memasaknya lebih mudah,” kata pria tambun berusia 61 tahun ini.
Bubur Suro diambil dari kata nama bulan dari bahasa Jawa, sedangkan bahasa Arabnya Muharram. Bubur Suro digunakan merujuk pada kebiasaan orang Jawa yang selalu memasak bubur pada bulan Suro.
Berdasar cerita para pendahulu, bubur suro ala Sunan Bonang awalnya diberikan kepada orang-orang tidak mampu di sekitar Tuban sembari para wali memberikan dakwah. Memasaknya ringkas, bisa dimakan secara bersama-sama.
“Makan sedikit saja sudah enak,” kata Ihwan yang sudah 18 tahun menjadi pengurus yayasan.
Seorang pengunjung yang seringkali mencari takjil bubur suro ala Bonang, Rohman, mengakui aroma bubur seperti makanan ala Timur Tengah. Bumbu kare dan dagingnya terasa nyentak di lidah.
“Makan sedikit sudah mengenyangkan perut saya,” kata Rohman warga asli Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban, Jawa Timur ini.