Anda Gemar Santap Kolak Untuk Berbuka Puasa? Ternyata Tidak Dianjurkan Lho
Kolak ini pun kerap menjadi menu favorit umat muslim sebagai santapan pembuka ketika berbuka puasa.
Penulis: Teuku Muhammad Guci Syaifudin
Editor: Wahid Nurdin
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Teuku Muh Guci S
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Siapa yang tidak kenal kolak, makanan yang berbahan pisang atau ubi yang direbus dengan gula dan santan.
Kolak ini pun kerap menjadi menu favorit umat muslim sebagai santapan pembuka ketika berbuka puasa.
Akan tetapi, menyantap kolak sebagai menu takjil ternyata tidak disarankan. Apa alasannya?
Ahli Gizi Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Ides Haeruman Taufik, mengatakan, kolak itu mengandung gula dan karbohidrat yang tinggi sehingga penyerapan ke tubuh cepat dan menaikan gula darah.
Selain itu, sumber karbohidrat yang tinggi juga mengakibatkan kejutan terhadap perut sehingga menghasilkan banyak asam lambung.
"Dengan begitu, tuntutannya makan lebih banyak lagi (cepat lapar. Red). Makanya sesuai sunnah Rasul berbukalah dengan buah manis seperti kurma," ujar Ides kepada wartawan di RSHS Bandung, Jalan Pasteur nomor 38, Kota Bandung, Selasa (14/6/2016).
Ides mengatakan, hal itu lah yang memicu berat badan meningkat meski telah menjalankan puasa selama sebulan penuh.
Sebab kelebihan zat gizi yang disantap itu hanya menjadi lemak. Sementara secara teori, proses metabolisme kandungan lemak itu selama sembilan jam.
Sedangkan jarak waktu ketika buka puasa dengan istirahat malam itu hanya berkisar empat.
"Dengan proses metabolisme hanya empat jam itu, sisa lemak menumpuk di dalam tubuh sehingga kolesterol tinggi. Makanya lebih baik berbuka dengan menu makanan yang simpel dan yang dibutuhkan energi untuk sampai jam 22.00," ujar Ides.
Menurut Ides, hal itu yang menjadi persoalan dan keluhan masyarakat ketika menjalankan puasa Ramadan justru mengalami peningkatan berat badan. Sebab di Indonesia karakter di sahur itu makanannya saayana (seadanya), sedangkan buka puasa itu sadayana (semuanya) dimakan.
"itu yang jadi permasalahan karena penyerapan protein tidak optimal," kata Ides. Secara penelitian, penyerapan protein itu mencapai 30 persen kalau pada saat tidak puasa. Tapi pada saat puasa penyerapan protein itu mencapai 85 persen. "Hal itu bisa dilihat dari seringnya buang besar. Ketika puasa itu seharusnya jumlah kotorannya sedikit, berbeda ketika tidak puasa yang kotorannya lebih banyak," ujar Ides. (cis)