Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Ramadan

Sungguh Manusia Dibayangi Kebangkrutan Jika tidak Mampu Mengisi Modal Waktu dengan Iman dan Amal

Ketika anda menginjakkan kaki dua kali di sungai yang sama, kaki anda akan menemukan air yang berbeda.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Sungguh Manusia Dibayangi Kebangkrutan Jika tidak Mampu Mengisi Modal Waktu dengan Iman dan Amal
ummi-online.com
Ilustrasi Salat 

Prof Dr Komaruddin Hidayat
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

SEGALA sesuatu tak ada yang diam. Semuanya bergerak. Hidup pun selalu bergerak bagaikan arus air.

Ketika anda menginjakkan kaki dua kali di sungai yang sama, kaki anda akan menemukan air yang berbeda.

Pepatah Arab mengatakan, waktu itu bagaikan pedang yang tajam. Jika anda tidak mampu mengendalikannya, maka anda yang akan terpenggal.

Alqur'an mengingatkan, "Demi waktu". Sungguh manusia dibayangi kebangkrutan jika tidak mampu mengisi modal waktu dengan iman dan amal saleh.

Kita semua mengada meniscayakan adanya ruang dan waktu, sehingga hampir setiap hari kita mendengar pertanyaan: dimana? kapan?

Dua kata yang paling sering diucapkan oleh manusia di manapun berada, apapun bangsa dan agamanya.

Berita Rekomendasi

Kalau ruang atau tempat bersifat relatif statis, permanen, sedangkan waktu senantiasa berjalan.

Setiap saat waktu berjalan bagaikan arus sungai atau kendaraan yang melaju ke depan, tak kenal henti atau berputar kembali.

Jika hidup diibaratkan kereta, setiap hari ada penumpang yang naik dan yang turun.

Kelahiran dan kematian selalu hadir berbarengan.

Sebelum naik dan setelah turun, dimanakah dan kemanakah kita berada?

Nalar tak dapat menjangkaunya. Nalar hanya menduga-duga. Kita semua terlahir tanpa pilihan bebas.

Siapakah yang akan menjadi orangtua kita, dimanakah akan terlahir, di sana tak ada tawar-menawar.

Absurd, nalar tidak bisa menjelaskan. Tahu-tahu sudah terjadi.

Baca: Mengapa Seorang Muslim Dianjurkan Salat di Awal Waktu?

Kita terlahir disambut oleh asuhan budaya, agama, warna kulit dan kondisi geografis yang berbeda-beda.

Ada kekuatan absolut yang mengkondisikan kita.

Begitu pun ketika ajal menjemput, berakhirlah kereta kehidupan ditelan terminal kematian.

Lagi-lagi, di situ ada kekuatan absolut yang tidak sanggup kita mengalahkannya.

Hidup juga bagaikan sungai. Ibarat air, kita berjalan menuju samudera. Namun rute perjalanan tidak selalu mulus.

Banyak sekali hambatan dan lika-liku bagi air untuk menggapai samudera.

Ada yang cepat, mulus, lancar dan ada yang tersendat dan tersandera di daratan.

Coba tanyakan atau dialog dengan diri sendiri, kemana arah hidup yang tak kenal berhenti dan berbalik dari menit ke menit ini?

Apakah gerbang kematian berarti akhir segala-galanya atau merupakan lorong baru untuk mengantarkan perjalanan lebih lanjut?

Nalar tidak sanggup menjawabnya. Semesta ini selalu bergerak. Hati dan pikiran tak pernah diam.

Dalam ketidaktahuan itu manusia lalu mencari sumber jawaban, yaitu Tuhan yang diyakini sebagai kekuatan absolut yang mencipta dan mengontrol sejarah.

Tetapi siapakah Tuhan, manusia juga selalu saja sibuk mendiskusikannya bahkan ada yang berkelahi atas nama Tuhan yang mereka persepsikan dan yakini masing-masng.

Ada sekelompok orang yang merasa tidak memerlukan Tuhan karena yakin bahwa hidup ini akan berjalan sebagaimana adanya tanpa campur tangan Tuhan.

Mereka yakin usaha dan rekayasa manusia lebih dominan dalam kehidupan ini.

Namun mayoritas manusia yakin bahwa manusia itu tak ubahnya semut atau belalang yang hinggap di sebuah hutan semesta yang amat besar yang digerakkan oleh Tuhan.

Tuhan berkomunikasi dengan manusia melalui berbagai medium, terutama melalui para Rasul-Nya dan melalui ayat-ayat semesta.

Setiap saat kita bagaikan air yang merembes mencari jalan yang mengantarkan ke samudera.

Entah kapan sampainya, kita tak tahu.

Atau bagaikan hewan laron yang datang dari kegelapan mendekati sumber cahaya. Ada yang sayapnya terbakar ketika mendekati sumber cahaya berupa api.

Di mata manusia yang berada di lorong kegelapan begitu terpukau dan terpikat ketika melihat banyak cahaya dalam perjalanannya mengendarai kereta waktu.

Jabatan, kekayaan, popularitas, dan sekian banyak bayangan kenikmatan lain telah membangkitkan gairah dan antusiasme untuk berpetualang meski hanya sebatas imajinasi dan keinginan.

Bukankah kebutuhan fisik kita sangat terbatas dan terukur?

Tapi kebesaran manusia memang bukan pada ukuran fisiknya.

Angan-angan dan imajinasinya telah melahirkan eksperimentasi, kreativitas dan inovasi untuk merobohkan garis batas guna menguak dan menggali kemungkinan-kemungkinan baru.

Semuanya dalam gerak bagaikan arus sungai yang deras. Kita berjubel dalam lorong waktu.

Satu-satu ikut bergabung ke dalamnya, dan satu-satu hilang tertelan lumpur, menyatu dengan tanah.

Manusia berasal dari tanah akan kembali ke tanah.

Lalu, apa yang kita cari dan akan kita tinggalkan untuk generasi penumpang di belakang kita?

Tanpa intervensi Tuhan, Cahaya di atas cahaya, kita berjalan menggapai-gapai dalam ruang absurditas.

"Demi waktu" demikianlah Tuhan bersumpah, mengingatkan semua manusia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas