Perbedaan Jumlah Rakaat Tarawih, Representasi dari Keragaman di Indonesia
Perbedaan jumlah rakaat merupakan representasi keragaman di Indonesia, bahwa masyarakat dapat bersikap luwes tanpa menyalahkan golongan yang berbeda.
Editor: Dewi Agustina
Dua pendapat ini menurut Maliki sama-sama benar.
Kalangan yang berpendapat jumlah rakaat tarawih delapan, mengambil hadis yang diriwayatkan Abu Salamah Bin Abdurrahman.
Di sinilah contoh keragaman pengamalan bisa kita lihat dapat berjalan dengan harmonis.
Hal ini merupakan representasi dari keragaman yang terjadi di Indonesia, bahwa masyarakat dapat bersikap luwes tanpa menyalahkan golongan yang berbeda pendapat.
Keragaman yang dimaksud adalah latar belakang budaya, ras, suku, agama, dan juga praktik pengamalan dalam agama yang sama.
Sebab pada teks yang sama, bisa jadi terdapat penafsiran yang beragam.
Keragaman adalah realitas yang sangat baik jika kita sikapi dengan tangan terbuka.
Dalam konteks perbedaan jumlah rakaat salat tarawih misalnya, kita terpaut jauh beberapa abad dari masa Nabi Muhammad SAW, yang berdasarkan beberapa pendapat, tidak ada batasan rakaat pada masanya.
Bahkan generasi sahabat Nabi dan Tabiin, hanya bisa menafsirkan melalui riwayat-riwayat hadis yang sangat terbatas.
Demikian pula pada persoalan perbedaan hal-hal lainnya.
Dalam bingkai kebangsaan Indonesia, sering diistilahkan dengan Bhinneka Tunggal Ika, yakni berbeda-beda tetapi tetap satu tujuan.
Adanya perbedaan antara satu dengan yang lainnya, jangan kemudian dijadikan sebagai kesimpulan bahwa salah satunya adalah yang terbaik dan terpuji. Semuanya sama.
Mari kita sikapi dengan tangan terbuka dan hati yang menerima. (ganaislamika)
Artikel ini telah tayang di ganaislamika dengan judul Perbedaan Jumlah Rakaat Tarawih, Representasi Pluralisme Indonesia
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.