Bulan Ramadan Disarankan Banyak Memanjatkan Doa, Berikut Adab Berdoa
“Dan di antara mereka ada yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”
Editor: Husein Sanusi
Dan makin “mustahil” doa tersebut kita wujudkan lewat kemampuan kita sendiri, makin sayang Dia kepada kita.
Paradoks doa terletak pada percakapan bahkan “perjumpaan” antara yang lemah gemulai dan Yang Mahaperkasa. Dalam perjumpaan tersebut, si lemah menyatakan segala kelemahannya dan si Mahaperkasa melimpahkan semua kasih sayang-Nya yang tak terbatas.
Maka itu, tidak ada kemustahilan dan tidak bisa ditemukan kekeliruan dalam ruang seperti itu.[1]
Akan tetapi, dalam memanjatkan doa orang sering salah paham dan menganggap Allah akan bersikap sama seperti kita.
Padahal, dalam kenyataannya, Dia adalah Zat yang sama sekali berbeda dengan kita. Meminta Allah Yang Mahakaya berarti menyerukan pujian, sanjungan dan kebesaran-Nya, sekaligus mengakui Kemahasempurnaan-Nya. Dan inilah tujuan dasar penciptaan manusia. Allah berfirman:
“Tidak sekali-kali Kuciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah-Ku.” (QS. 51:56)
Atas dasar itu, doa adalah dialog antara hamba yang sangat terbatas lagi papa dengan Tuhan yang Mahakaya.
Untuk berbicara dengan Sang Mahakaya diperlukan sebuah “komunikasi” yang jujur dan benar. Mula-mula, pujilah Dia. Lalu akuilah kelemahan dan kekurangan sendiri. Selanjutnya, Dia pasti akan bersedia menanggapi kita. Bersabarlah sejenak untuk-Nya, tapi juga berputus-asalah pada selain-Nya.
Dalam surah Al-Maidah ayat 116-118, Al-Qur’an menceritakan ungkapan diplomatis Nabi Isa dengan Allah untuk menarik simpati dan kasih sayang-Nya di satu sisi, dan di sisi lain untuk mengakui kemustahilan dirinya melawan Kemahakuasaan-Nya.
Dalam ayat-ayat tersebut, terjadilah dialog yang dahsyat antara Nabi Isa dan Allah. Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?” Isa menjawab: “Mahasuci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya.
Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak tahu apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Mahamengetahui semua perkara yang gaib.” Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (untuk mengatakannya) yaitu: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian.
” Dan akulah saksi mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang menjadi pengawas mereka. Dan Engkau Mahamenyaksikan segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Doa-doa Nabi Muhammad Saw, para manusia suci dan sufi juga penuh dengan ungkapan-ungkapan seperti di atas. Salah satunya ialah munajat orang yang bersyukur dari Ali Zainal Abidin: “…Bagaimana pula caranya aku (dapat disebut) bersyukur, padahal (setiap ungkapan) syukurku itu sendiri memerlukan kepada syukur (yang lain).” Doa ini seolah-olah ingin mengatakan: aku memang teledor; lalai untuk mensyukuri semua nikmat-Mu. Namun, andai pun aku tidak lalai untuk mensyukuri-Mu, maka ketidaklalaianku itu memerlukan pernyataan syukurku kepada-Mu dan demikian seterusnya, sehingga sulit rasanya untuk dapat sepenuhnya disebut mensyukuri-Mu.