Nasihat Imam Al Ghazali Tentang Berbuka Puasa Dengan Makanan Yang Halal
Selain itu, perhatian Al-Ghazali tampak pada satu narasi hadis yang mungkin akrab di telinga kita, “Berapa banyak orang yang berpuasa
Editor: Husein Sanusi
Baca juga: https://ganaislamika.com/puasa-kaum-sufi-4-al-ghazali-dan-aspek-psikologis-puasa/
Menurutnya, ada tiga makna yang terkandung dalam hadis di atas. Pertama, orang yang berbuka dengan makanan haram.
Ini jelas sekali. Kedua, orang yang menahan diri atau berpuasa dari makanan halal, tetapi ketika berbuka dengan hidangan daging manusia dengan cara ghibah (bergunjing).
Ini dianalogikan dengan firman Allah SWT. (Lihat QS al-Hujurat [49]: 12). Dan ketiga, orang yang tidak menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan dosa dan tercela.[2]
Selanjutnya, kelima, tidak memperbanyak makanan halal ketika berbuka sampai-sampai rongganya terisi penuh. Karena, sebagaimana disebutkan Al-Ghazali dengan mengutip hadis Nabi Saw.
“Tidak ada tempat atau wadag yang lebih dibenci Allah dari perut yang penuh dengan yang halal.”[3] Ini artinya, ketika berpuasa, selayaknya pengaturan dan kontrol diri harus tetap kita pentingkan.
Karena puasa berarti al-imsak, yakni menahan. Dengan menahan itulah kita berharap ada faedah dan manfaat yang bisa kita dapatkan. Selain manfaat jasmani, tentu manfaat terbesarnya bagaimana kita semua menjadi hamba-hamba yang dekat dengan Allah SWT.
Poin penting dari pernyataan Al-Ghazali ini bukan dari faktor makanannya saja, tapi perolehannya harus dipastikan melalui jalan yang halal.
Sebab, sebenernya puasa juga harus memperhatikan gerak laju anggota tubuh lainnya. Jika perolehannya dari jalan yang haram, secara otomatis ketika menjelma hidangan menjadi haram.
Keharaman bukan terletak pada dzat dan wujud makanan, melainkan pada substansi dan nilai makanan tersebut. Sehingga ini akan mempengaruhi nilai dari ibadah puasa itu sendiri.
Maka, sesuatu yang haram atau menjadi haram, misalnya, dari kebanyakan makan atau substansi makanan yang diperoleh dari keharaman akan berpotensi merusak agama.
Sejalan dengan pernyataan di atas, ada istilah menarik mengenai makanan ini, Al-Ghazali mengistilahkan dengan fakhsy al-ghidza (makanan yang keji).
Menurutnya, makanan yang keji itu menzalimi dan mengakibatkan hati menjadi keras serta menjauhkan diri dari Allah SWT.
Sedangkan makanan yang baik akan menerangi dan melahirkan kelembutan hati, serta mendekatkan dengan Allah, sebagaimana firman-Nya, Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu. (QS Al-Baqarah [2]: 172)[4]