Nasihat Imam Al Ghazali Tentang Berbuka Puasa Dengan Makanan Yang Halal
Selain itu, perhatian Al-Ghazali tampak pada satu narasi hadis yang mungkin akrab di telinga kita, “Berapa banyak orang yang berpuasa
Editor: Husein Sanusi
TRIBUNNEWS.COM - Jiwa dan rahasia puasa adalah melemahkan kekuatan celah setan yang menjerumuskan. Tutuplah celah itu dengan mengatur pola makan dan tidak berlebihan ketika buka puasa.
Karena itu menjadi kunci penyingkapan, sebagaimana perkataan Al-Ghazali: “Siapa yang menjadikan antara hati dan dadanya tempat penampung makanan, maka dia terhijab dari-Nya. Dan siapa yang mengosongkan perutnya, demikian itu belum cukup untuk mengangkatkan hijabnya sebelum cita-citanya kosong dari selain Allah. Dan pangkal semua itu ada dalam menyedikitkan makanan.”
Sebagai upaya meyucikan hati, maka dibutuhkan kesadaran penuh dari jiwa terdalam.
Sebab, ketika salah satu anggota tubuh ditekan untuk menahan diri, maka pergolakan batin serasa membuncah menuntut pemenuhan. Puasa menahan lapar dan dahaga, ini sederhananya.
Namun jangan dikira kenyamanan akan diperoleh dengan mudah seketika. Tidak.
Baca juga: https//ganaislamika.com/puasa-kaum-sufi-5-psikologi-puasa-dalam-ihya-ulumuddin-1/:
Hati berontak, setan pun menampakkan taringnya untuk terus mengembuskan godaan. Suasana lengang dan tenang menjadi tempat peraduannya mengangkangi manusia; siapa yang terkuat di antara mereka.
Maka dari itu, di antara langkah-langkahnya adalah dengan menutup celah masuknya setan, sebagaimana disampaikan Al-Ghazali dalam Ihya.
Al-Ghazali mengungkapkan poin berikutnya perihal bagaimana menggapai kesempurnaan puasa khusus. Pada poin keempat, dia mengatakan, dengan mencegah anggota tubuh lainnya dari segala dosa.
Mulai dari tangan sampai kaki, dari segala yang makruh, dan mencegah perut dari semua hal syubhat pada saat berbuka.
Puasa menjadi tak berarti ketika mencegah dari makanan halal, sementara berbukanya dengan mengkonsumsi makanan haram. Ini diibaratkan Al-Ghazali layaknya membangun sebuah istana dan menghancurkan kota.[1]
Demikian pula makanan halal menjadi berbahaya ketika terlalu banyak atau berlebihan. Bukan disebabkan jenisnya, melainkan nilainya menjadi “haram.”
Seperti obat, takaran yang sedikit atau sesuai anjuran dokter akan mujarab, sedangkan kelebihan dosis akibatnya bisa berbahaya.
Selain itu, perhatian Al-Ghazali tampak pada satu narasi hadis yang mungkin akrab di telinga kita, “Berapa banyak orang yang berpuasa, namun mereka tak mendapatkan apa pun kecuali lapar dan dahaga.”