Rasa Lapar Selama Ramadan Adalah Istirahat Untuk Urusan Duniawi
Ungkapan simbolik dari para sufi harus menjadi muara ketaatan dalam segala hal. Seperti pernyataan Abul Abbas Qashshab:
Editor: Husein Sanusi
TRIBUNNEWS.COM - Ada satu ungkapan menarik dari hadis qudsi, “Berlapar-laparlah, maka kau akan melihat-Ku, bersikap wirai-lah, niscaya kau akan mengernal-Ku; dan berlepas dirilah (dari dunia), maka kau akan sampai kepada-Ku.”
Lapar menjadi perisai orang-orang yang zuhud dan qanaah. Karena di dalam lapar, mereka mengistirahatkan sejenak persoalan duniawi yang pembukanya adalah kenyang. Setelah kenyang, maka tersingkaplah satu per satu nafsu manusia.
Melalui kenyang keinginan untuk menggasak satu sama lain semakin potensial. Tubuh mulai tak enak, hati pun bergejolak, sementara sirr-nya yang seharusnya menjadi tempat penyimpanan khazanah Ilahiah kini menjelma serigala buas angkara murka. Tertutup dari segala kebaikan.
Dalam Kasyful Mahjub[1] (Penyingkapan Tirai), juz II (dua), al-Hujwiri menjadikan tema puasa dan lapar dalam satu rangkaian.
Pembahasannya dimulai dari puasa, lalu lapar dan semua yang berhubungan dengannya. Namun dalam kajian ini, penulis memilih untuk mengkaji terma lapar terlebih dahulu, baik secara lahiriah maupun lapar sebagai makna simbolik.
Meski keduanya tidak berlaku sebagai oposisi biner, namun adanya yang satu menyebabkan keberadaan lainnya. Tentunya kajian ini tidak berhenti pada konsepsi lapar dan puasa seperti sejak digaungkan sebagai laku sufistik, atau bahkan sebagai bentuk peribadatan. Sedikit lebih jauh dari itu, melihat dibalik makna tersirat sepertinya perlu dilakukan agar kajian ini tidak sekadar euforia peradaban, namun dapat berdialog dengan zaman.
Seperti kita tahu, Kasyful Mahjub adalah warisan intelektual tertua Persia. Ia menjadi salah satu dari deretan karya awal dalam kajian tasawuf.
Pengertian dan pemahaman yang dibangun di dalamnya belum mencakup tokoh-tokoh sufi lainnya, karena kitab ini lahir sebelum referensi tasawuf lainnya muncul. Dalam jalur sufisme, al-Hujwiri sepertinya lebih condong kepada tasawuf akhlaqi ketimbang tasawuf falsafi.
Ini sebagaimana dikemukakan Reynold A. Nichloson dalam pengantar edisi bahasa Inggris yang mengatakan bahwa al-Hujwiri mencoba menyepadankan konsepsi teologisnya dengan corak mistikisme yang tinggi dengan meletakkan teori fana sebagai yang paling unggul. Namun demikian, al-Hujwiri tidak sampai masuk pada pemahaman ekstrim yang menjadikannya layak disebut seorang panteis.
Ekspresi “ketenangan” lebih dia sukai ketimbang “kemabukan” dalam mengikuti teori al-Junayd. Dan tak jarang mengingatkan para pembacanya, ketika seorang sufi mencapai tingkatan tertinggi sekalipun, dia tetap terkena kewajiban hukum-hukum syariat. Sementara dalam ekstase musik dan penggunaan simbolisme erotik dalam puisi atau syair, al-Hujwiri lebih memilih sikap hati-hati. Dengan kata lain, dia seakan ingin menghadirkan tasawuf sebagai tafsiran Islam yang benar.[2]
Memasuki belantara Kasyful Mahjub, kita akan disuguhi pengenalan sufistik lebih sebagai lelaku ketimbang pemikiran. Dalam penjelasannya tentang lapar, al-Hujwiri membuka dengan QS Al-Baqarah [2]: 155: “Dan sungguh, akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Lalu, berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” Poin utama dari penukilan ayat ini adalah hendak menjelaskan makna lapar.
Di dalam lapar tersimpan kemuliaan yang besar, dan satu hal yang terpuji berdasarkan pandangan manusia dan agama. Sebab, pikiran orang yang lapar menjadi satu indera penglihatan, kecerdasannya pun semakin terarah, dan tubuhnya selalu sehat. Maka, bagi siapa yang mau mengambil bagian dari riyadhah ini, niscaya kebuasan dalam dirinya akan melemah dan tunduk. Karena lapar akan menundukkan jiwa, dan semakin mengkhusyukkan hati.[3] Sebagaimana ungkapan Nabi Saw, “Sesungguhnya setan menempati aliran darah manusia, maka persempitlah jalan setan itu dengan lapar.”
Manusia menderita dengan lapar, tetapi sejatinya dia sedang mempersulit gerak setan. Kalaupun laparnya sebatas menahan lapar dan dahaga, setidaknya pikirannya terpusat pada “aktivitas” lapar. Dia tidak sanggup memikirkan keasyikan lainnya selain membayangkan sepaket kenikmatan: makan dan minum. Geraknya terbatasi karena perut yang kosong. Alih-alih berpikir untuk bermaksiat lahiriah, terik panas dan kondisi yang lemah membunuh nafsu sesaat. Dia menjadi penderitaan bagi badan, tapi sebenarnya hati cemerlang, dan jiwa pun tampak bersih. Melalui lapar inilah, manusia akan dapat melihat Tuhan.
Lapar menjadi satu riyadhah penting dalam menapaki jenjang menuju Tuhan. Berbagai ungkapan ini dapat kita temukan dalam perkataan Yahya bin Muadz, misalnya: Lapar ada empat tingkatan: Lapar bagi seorang murid menjadi riyadhah; bagi para pelaku taubat menjadi sarana latihan; bagi para zahid menjadi taktik atau siasat; sementara bagi ahli makrifat menjadi sesuatu yang terpuji.[4]