Cerita Sandy dari Kutub Utara: Matahari Bersinar 21 Jam, Rindu Suara Azan
Menjalankan ibadah puasa kali ini, cukup berat baginya karena matahari bersinar selama 21 jam.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, RUSIA- Mahasiswa Indonesia di Rusia, Sandy Saputra (26) sudah dua tahun tinggal di Kutub Utara, Arkhangelsk, Rusia. Menjalankan ibadah puasa kali ini, cukup berat baginya karena matahari bersinar selama 21 jam.
Sandy tengah menempuh ilmu di Northern Arctic Federal University. "Jurusan Regional Studies - Arctic Focus. Beasiswa Pemerintah Rusia tahun 2018," kata Sandy mengawali ceritanya kepada Tribun.
Baca: Inggris Perpanjang Lockdown, KBRI London Gelar ‘Ngopi Bareng Virtual’ Untuk Pantau WNI
Sandy bercerita di Rusia sudah memasuki musim semi. Di wilayah Kutub Utara, kata Sandy, matahari lebih lama bersinar. Siang lebih panjang dibandingkan malam. Bulan Ramadan kali ini, adalah yang kedua bagi Sandy menjalankannya di Arkhangelsk.
"Untuk saat ini di bulan Ramadan, puasanya sekitar 20 jam," ceritanya.
Baca: Seluruh WNI di Rusia Sehat Walafiat
Sebagai orang Indonesia yang terbiasa berpuasa dari sekira pukul 04.30-18.00 atau sekira 14 jam, Sandy mengaku tidak kuat jika harus mengikuti waktu puasa di Rusia. Terutama di Kutub Utara."Kalau mengikuti jadwal sini, bisa dari sekira jam 01.00 sampai jam 21.00 itu untuk awal," tutur Sandy.
Namun waktu puasa itu akan berubah. Di akhir-akhir pekan puasa, memurut Sandy, waktu berpuasa bisa sampai 22 jam. "Kalau diakhir-akhir imsyak jam 01.00 buka puasa jam 22.00. Hampir 22 jam lebih, itu aku tidak kuat!," katanya.
Akhirnya ia memutuskan untuk menanyakan kepada tokoh agama setempat. Boleh atau tidaknya mengikuti waktu berpuasa di Arab Saudi atau Indonesia.
Baca: Buru Warga Berstatus ODP dan PDP yang Berkeliaran, Polda Jatim Bentuk Tim Covid-19 Hunter
"Aku mendapat penjelaskan, boleh berpuasa mengikuti waktu Arab atau ikut waktu Indonesia, akhirnya aku putuskan untuk ikut waktu Indonesia WIB" ujarnya.
Sandy bercerita matahari terik dari waktu imsak hingga waktu berbuka puasa. "Di sini matahari terang banget dari jam setengah 2 malam sampai jam 11 malam terang benderang itu aku tidak kuat.Jadi aku tidak ngikutin waktu sini, ikut waktu Jakarta dan itu dibolehkan," sambungnya.
Kangen Beli Gorengan
Dua tahun Sandy meninggalkan kampung halaman, selain merindukan waktu bersama keluarga saat berpuasa, ia juga merindukan makanan khas nusantara.
Terutama mencari makanan jelang waktu berbuka puasa."Kangen banget makanan Indonesia kayak sore-sore bisa beli gorengan, beli cendol, beli nasi uduk, di sini tidak ada sama sekali. Dan aku kangen sekali makan rendang ya ampun, pecel, asinan betawi, semua kangen banget," kata dia.
Ia merindukan suasana ramadan di Indonesia. Saat sahur dan berbuka bersama keluarga. Saat ada anak-anak yang berkeliling membangunkan sahur. Saat merdunya suara adzan berkumandang.
"Di sini tidak ada namanya tadarus, azan, tidak mendengar apapun. Di sini suasana ramadan tidak ada sama sekali," katanya.
Baca: Ini Alasan Orang yang Tinggal di Kutub Utara Tak Bisa Terserang Flu
Terkadang, menurut Sandy, jika rindu makan Indonesia, ia akan membuatnya sendiri. Seperti kemarin misalnya, ia berbuka dengan es teh manis dan bakwan goreng.
"Berbuka, kalau lagi kangen Indonesia kadang buat es teh, masak bakwan, dan konsumsi buah. Ya kadang berbuka seadanya dengan makanan sini pelmeni, blini, dan sop ayam sendiri," tutur Sandy.