Sering Dipakai untuk Menentukan Awal Ramadan, Apa Bedanya Metode Rukyatul dan Hisab?
Kemajuan teknologi terutama dalam bidang astronomi membuat kemudahan penentuan awal bulan Ramadan. Apa beda rukyatul Hilal dan metode hisab?
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fandi Permana
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kemajuan teknologi terutama dalam bidang astronomi membuat kemudahan di berbagai bidang termasuk penentuan awal bulan Ramadan.
Meski baru akan ditentukan melalui sidang Isbat yang digelar Kementerian Agama pada Senin (12/4/2021) malam, sejumlah persiapan untuk memantau pergerakan hilal sudah dipersiapkan sejak beberapa hari lalu.
Perlu diketahui penentuan awal Ramadan, di Indonesia untuk menentukan 1 Ramadhan atau 1 Syawal selalu menggunakan metode rukyat hilal dan hisab.
Baca juga: Sidang Isbat Penentuan Awal Ramadan 1442 H Digelar Hari Ini, Berikut 3 Tahapan Penentuan Awal Puasa
Baca juga: Sidang Isbat akan Dilaksanakan Besok Senin, 12 April 2021, Berikut Lokasi Rukyatul Hilal
Kedua cara ini sudha tertuang pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 2 Tahun 2004 dan UU Nomor 3 Pasal 25 A.
Meski sama-sama berpatokan pada sains atau ilmu terapan yang berbasis astronomi, kedua metode memiliki perbedaan dalam menentukan hilal.
Apa beda metode Rukyatul dan Hisab? Simak penjelasannya yang dirangkum Tribunnews.com berikut ini:
Rukyatul Hilal
Rukyatul hilal secara harfiah artinya melihat bulan secara langsung melalui alat bantu seperti teropong.
Aktivitas pengamatan ini berfokus pada visibilitas hilal atau bulan sabit muda saat matahari terbenam sebagai tanda pergantian bulan pada kalender Hijriah.
Namun, bila cuaca terhalang gumpalan awan atau mendung, tak jarang rukyatul hilal menemui kesulitan untuk melihat bulan sabit muda. Jika hal itu terjadi, maka hilal dianggap tak terlihat sehingga penentuan awal puasa Ramadhan digenapkan pada lusa berikutnya.
Khusus pemantauan hilal Indonesia dilakukan pada 86 titik yang tersebar di 34 provinsi.
Petugas yang melakukan rukyatul hilal di antaranya ahli astronom, pimpinan pondok pesantren, ahli klimatologi hingga masyarakat umum yang ingin terlibat langsung.
Dalam tradisi tiap tahun, pemantauan hilal akan dikoordinir oleh Kemenag yang bekerja sama dengan ormas serta para pakar dari BMKG, Lapan, dan pondok pesantren, untuk melakukan perhitungan soal ketinggian hilal agar tidak terjadi 'salah lihat'.