Naskah Khutbah Idul Fitri 1442 H: Ajaran Tentang Dua Kesadaran
Berikut ini contoh naskah khutbah Idul Fitri 1442 H tentang Ajaran Tentang Dua Kesadaran.
Penulis: Yurika Nendri Novianingsih
Editor: Sri Juliati
Akan tetapi, Islam mengajarkan agar kecintaan pada hal-hal duniawi itu jangan sampai menjadikan seorang Muslim terpedaya. Jika terpedaya, kecintaan itu justu akan mengarahkan manusia kepada penuhanan hawa nafsu. Allah menegaskan:
اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰىهُ وَاَضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلْمٍ وَّخَتَمَ عَلٰى سَمْعِهٖ وَقَلْبِهٖ وَجَعَلَ عَلٰى بَصَرِهٖ غِشٰوَةًۗ فَمَنْ يَّهْدِيْهِ مِنْۢ بَعْدِ اللّٰهِ ۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ.
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapa yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat?) Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Kedua, kesadaran akan situasi. Bahwa manusia seringkali menyadari keadaan yang dialami sesungguhnya lebih baik dari keadaan-keadaan lainnya, manakala manusia telah mengalami satu keadaan yang lebih buruk.
Sebagai misal, bagi sebagian manusia yang tak pernah merasakan kepahitan hidup dalam bentuk kekurangan makanan, akan sangat sulit untuk mencerna apa makna rasa lapar. Dengan berpuasa, mereka yang tak pernah mengalami rasa lapar itu, akan segera merasakan betapa pahitnya hidup dalam lilitan rasa lapar.
Maka, sebagaimana ibarat yang diajukan Jalaluddin Rumi bahwa air asin akan terasa asin, manakala seseorang pernah mereguk minuman yang manis; kenikmatan hidup yang dirasakan oleh seseorang akan benar-benar muncul dan terasa sebagai kenikmatan hidup setelah ia mengalami “penderitaan” baik dalam arti faktual maupun simulatif.
Dalam kehidupan sosial masyarakat modern, situasi inilah yang disebut dengan empati dan solidaritas sosial. Sebuah situasi turut merasakan keadaan orang lain, betapapun secara faktual tidak berada dalam situasi itu.
Singkat kata, dengan menggunakan ukuran dua jenis kesadaran di atas, puasa sesungguhnya mengajak umat Islam untuk melakukan refleksi ke dalam dan sekaligus keluar. Refleksi ke dalam mengambil bentuk perenungan atas berhala-berhala dalam diri.
Pada tahapan berikutnya, jika berhala-berhala itu telah diketahui, harus dibuat upaya pelemahan atau bahkan penghancuran berhala-berhala itu melalui riyadhah atau latihan pengendalian diri selama puasa di bulan Ramadhan.
Namun, pada saat yang sama, puasa mengajarkan refleksi ke luar, yakni membangun kepekaan, sehingga muncul empati dan solidaritas sosial tadi. Puasa mengandung makna hakiki dan simbolis akan kepedulian kepada sesama.
Namun, kepedulian kepada sesama itu kadang sulit diwujudkan oleh karena sebagian orang tidak mengalami secara langsung apa yang dialami oleh seseorang yang lain. Maka, menangkap kedua makna puasa itu untuk mempertinggi solidaritas sosial sangat penting agar kita tidak menjadi pribadi-pribadi yang terbelah.
Misalnya adalah seseorang yang memiliki pengalaman, pengetahuan, dan ketaatan ritual yang tinggi, namun hatinya tak bergetar melihat ketimpangan sosial. Dengan segala rangkaiannya, puasa melatih agar kita terampil menggunakan mata hati sosial.
Hadlirin jamaah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah,
Demikianlah, mudah-mudahan kita semua senantiasa dalam bimbingan Allah sehingga mampu menjadi pribadi-pribadi utuh dan memiliki setidaknya dua kesadaran tadi.