Mengenal Nyadran, Tradisi Masyarakat Jawa Jelang Bulan Ramadhan
Nyadran dilakukan dengan bersih-bersih makam para orang tua atau leluhur, membuat dan membagikan makanan tradisional, serta berdoa.
Penulis: Widya Lisfianti
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Setiap menjelang Ramadan, tepatnya pada bulan Sya'ban, masyarakat Jawa khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta, selalu melakukan tradisi Nyadran.
Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta "Sraddha" yang artinya keyakinan, dikutip dari menpan.go.id.
Dalam kalender Jawa, bulan Ramadan disebut dengan Bulan Ruwah, sehingga Nyadran juga dikenal sebagai acara Ruwah.
Nyadran diadakan satu bulan sebelum dimulainya puasa atau pada 15, 20, dan 23 bulan Ruwah.
Nyadran dilakukan dengan bersih-bersih makam para orang tua atau leluhur, membuat dan membagikan makanan tradisional, serta berdoa atau selamatan bersama di sekitar area makam.
Nyadran dimaksudkan sebagai sarana mendoakan leluhur yang telah meninggal dunia, mengingatkan diri bahwa semua manusia pada akhirnya akan mengalami kematian.
Sekaligus dijadikan sebagai sarana guna melestrikan budaya gotong royong dalam masyarakat sekaligus upaya untuk dapat menjaga keharmonisan bertetangga melalui kegiatan kembul bujono (makan bersama).
Baca juga: Ragam Tradisi Menjelang Ramadhan di Indonesia: Nyadran, Padusan hingga Malamang
Tradisi Nyadran dilakukan dengan kearifan lokal masing-masing sehingga dibeberapa tempat terdapat perbedaan-perbedaan dalam prosesi pelaksanaannya.
Tata cara pelaksanaan tradisi nyadran tidak hanya sekedar ziarah ke makam leluhur.
Namun juga terdapat nilai-nilai sosial budaya seperti gotong royong, pengorbanan, ekonomi, menjalin silaturahmi, dan saling berbagi antar masyarakat di suatu lingkungan.
Mengutip jogjakota.go.id, tradisi Nyadran terdiri dari berbagai kegiatan, yakni
1. Melakukan besik, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan.
Dalam Kegiatan ini masyarakat dan antar keluarga saling bekerjasama gotong-royong untuk membersihkan makam leluhur.
2. Kirab, merupakan arak-arakan peserta Nyadran menuju ketempat upacara adat dilangsungkan.
3. Ujub, menyampaikan Ujub atau maksud dari serangkaian upacara adat Nyadran oleh Pemangku Adat.
4. Doa, Pemangku Adat memimpin kegiatan doa bersama yang ditujukan kepada roh leluhur yang sudah meninggal.
5. Kembul Bujono dan Tasyukuran, setelah dilakukan doa bersama kemudian dilanjutkan dengan makan bersama.
Masyarakat menggelar Kembul Bujono atau makan bersama dengan setiap keluarga yang mengikuti kenduri harus membawa makanan sendiri.
Makanan yang dibawa berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan lauk rempah, prekedel, tempe dan tahu bacem, dan lain sebagainya.
Setelah masyarakat telah berkumpul dan membawa kendurinya masing-masing, makanan yang dibawa diletakkan didepan untuk didoakan oleh pemuka agama setempat untuk mendapatkan berkah.
Kemudian dilakukan tukar-menukar makanan yang dibawa masyarakat.
Untuk mengakhiri acara kemudian masyarakat melakukan makan berasama dengan saling bersendau gurau untuk saling mengakrabkan diri.
Nyadran yang telah dijaga selama ratusan tahun, mengajarkan untuk mengenang dan mengenal para leluhur, silsilah keluarga, serta memetik ajaran baik dari para pendahulu.
Seperti pepatah Jawa kuno yang mengatakan "Mikul dhuwur mendem jero" yang kurang lebih memiliki makna “ajaran-ajaran yang baik kita junjung tinggi, yang dianggap kurang baik kita tanam-dalam".
(Tribunnews.com, Widya)