Hukum Mencicipi Makanan saat Puasa, Apakah Batal? Ini Penjelasannya
Menurut para ulama, mencicipi makanan saat berpuasa hukumnya boleh asalkan tidak sampai tidak masuk kerongkongan (dimakan)
Penulis: Bangkit Nurullah
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Puasa merupakan amal ibadah yang pahalanya diberi langsung oleh Allah SWT.
Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Muhammad SAW berikut ini.
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ
Artinya: “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah ta’ala berfirman [yang artinya]: Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya,” (H.R. Muslim).
Ketika berpuasa, orang akan menahan untuk tidak makan dan minum selama sehari.
Hal ini yang menjadi tantangan tersendiri bagi orang yang berpuasa. Terlebih bagi orang yang bekerja sebagai juru masak ataupun ibu rumah tangga yang sedang menyiapkan makanan untuk berbuka.
Mereka tentu ingin menyajikan makanan baik dari segi bentuk maupun rasa.
Lantas bagaimana jika orang tersebut berpuasa? Siapa yang akan mencicipi makanan yang sedang dimasak?
Bolehkah mencicipi makanan saat berpuasa?
Atau justru hal itu akan membatalkan puasa?
Simak penjelasan lengkapnya berikut ini.
Baca juga: Bolehkah Berciuman dan Berpelukan pada Siang Hari Bulan Ramadhan, Apakah Membatalkan Puasa?
Dikutip dari laman resmi Kemenag, Rabu (13/3/2024), salah satu yang membatalkan puasa itu adalah masuknya ‘ain atau benda ke dalam rongga perut.
Dikecualikan jika yang masuk ke rongga perut tersebut karena lupa, tidak tahu, atau dipaksa, atau sesuatu yang sulit dipisahkan dari air liur.
Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Syekh Salim bin Sumair dalam Safinatun Najah.
الذي لا يفطر مما يصل إلى الجوف سبعة أفراد ما يصل إلى الجوف بنسيان أو جهل أو إكراه وبجريان ريق بما بين أسنان وقد عجز عن مجه لعذره
Artinya, “Yang tidak membatalkan puasa di antara yang masuk ke dalam rongga perut ada tujuh poin. (Pertama, kedua, dan ketiga) sesuatu yang masuk ke dalam perut orang yang berpuasa karena lupa, tidak tahu, dan dipaksa; (keempat) sesuatu yang masuk perutnya berupa aliran air liur bersamaan dengan sesuatu yang ada di antara sela-sela gigi, sementara ia tidak mampu memisahkannya di antara antara liur tersebut karena sulit.” (Lihat: Salim bin Sumair, Matan Safinatun Najah, Cetakan Darul Ihya, halaman 114).
Oleh sebab itu, mayoritas ulama Syafi’i berpendapat masuknya sisa-sisa makanan yang sedikit dan sulit dipisahkan dari mulut tidak membatalkan puasa.
Demikian pula rasa makanan yang tersisa dari bekas makanan. Hal itu juga tidak sampai membatalkan karena tidak adanya wujud benda yang masuk pada rongga.
أَمَّا مُجَرَّدُ الطَّعْمِ الْبَاقِي مِنْ أَثَرِ الطَّعَامِ فَلَا أَثَرَ لَهُ لِانْتِفَاءِ وُصُولِ الْعَيْنِ إلَى جَوْفِهِ
Artinya, “Adapun hanya sekadar rasa makanan yang tersisa dari bekas makanan, maka tidak ada pengaruhnya bagi pembatalan puasa karena tidak ada wujud benda yang masuk dalam rongga.” (Lihat: Hasyiyah al-Bujairimi, juz I, halaman 249).
Kesimpulan ini diambil para ulama Syafi’i berdasarkan qaul Ibnu Abbas:
عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ، قالَ: لا بَأْسَ أنْ يَذُوقَ الخَلَّ أوِ الشَّيْءَ، ما لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وهُوَ صائِمٌ
Artinya: Diriwayatkan dari Ibn Abbas, ia berkata, tidak masalah apabila seseorang yang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu selama tidak masuk kerongkongan/memakan. (Musannaf Ibn Abi Syaibah, juz 2, halaman: 304)
Baca juga: Apakah Shalat Tarawih Wajib? Ini Penjelasan dari Ulama
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mencicipi makanan tidak sampai membatalkan puasa, selama yang dicicipinya sedikit, tidak ada wujud makanan yang masuk ke dalam rongga, kemudian rasa makanan yang terasa di ludah dan masih mungkin dibuang dikeluarkan.
Namun, jika mencicipi makanan sendiri bagi orang yang tidak ada kebutuhan, maka hukumnya makruh.
Sementara, bagi orang yang membutuhkan seperti juru masak, maka mencicipi makanan tidaklah makruh.
Hal ini bisa dilihat dalam fatwa asy-Syarqawi dalam kitabnya Hasyiyatusy Syarqawi ‘ala Tuhfatith Thullab :
وذوق طعام خوف الوصول إلى حلقه أى تعاطيه لغلبة شهوته ومحل الكراهة إن لم تكن له حاجة ، أما الطباخ رجلا كان أو امرأة ومن له صغير يعلله فلا يكره في حقهما ذلك قاله الزيادي
Artinya, “Di antara sejumlah makruh dalam berpuasa ialah mencicipi makanan karena dikhawatirkan akan mengantarkannya sampai ke tenggorokan. Dengan kata lain, khawatir terlanjur tertelan masuk, lantaran sangat dominannya syahwat (untuk makan). Kemakruhan itu sebenarnya terletak pada tidak adanya hajat tertentu dari orang yang mencicipi makanan itu. Beda hukumnya bila tukang masak dan orang yang masak untuk menyuapi anak kecilnya yang sedang sakit, maka mencicipi makanan tidaklah makruh. Demikian penuturan Az-Zayadi.”
(Tribunnews.com/Bangkit N)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.