Nina Rela Jual Bola Matanya
Nina pun siap menjual bola matanya agar bisa membayar utang dan bisa tinggal di rumah milik sendiri
Editor: Kisdiantoro
TRIBUNNEWS.COM, KUNINGAN - Nina Halina (30), warga Jalan Sukamukti 71, Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majalengka, sudah tak tahan lagi terus-menerus ditagih membayar utang biaya persalinan. Nina pun siap menjual bola matanya agar bisa membayar utang.
"Saya memang sedang bingung. Sudah tidak punya akal bagaimana bisa memperoleh uang untuk membayar biaya persalinan yang kini masih menunggak ke bu bidan dan saudara saya. Mereka terus- menerus menagih," ujar Nina saat ditemui di rumah tumpangan di Blok Puhun RT 09/03, Desa Gunung Karung, Kecamatan Luragung, Kuningan, Kamis (30/9) pagi.
Nina memang baru melahirkan putra bungsunya empat puluh hari lalu. Persalinannya dibantu seorang bidan desa di kampung suaminya di Blok Puhun. Sebelumnya, Nina tinggal di rumah orang tuanya di Jalan Sukamukti 71, Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majalengka.
Akibat kondisi kandungan yang bermasalah, yakni bayi terlilit tali ari-ari, Nina terpaksa harus mengeluarkan biaya persalinan cukup besar. Selain itu, bayinya harus mendapat perawatan di puskesmas. Jika ditotalkan, biaya persalinan dan perawatan mencapai Rp 1,2 juta.
Bagi Nina dan keluarganya, utang sebesar itu sangat berat dipikul. Keadaan ekonomi keluarga, kata Nina, tidak mampu lagi untuk membayar biaya persalinan dan perawatan bayi.
Suami yang menjadi tulang punggung keluarga tak memiliki pekerjaan menjanjikan. Maklum, suami Nina hanya seorang kuli angkut pasir dari lokasi penambangan ke atas truk. Penghasilannya sangat minim, hanya Rp 10.000-Rp 20.000 per hari. Sementara di keluarga, ada tiga tanggungan anak yang harus dibiayai.
"Selain itu, anak saya yang pertama sudah kelas 6 SD dan sebentar lagi masuk SMP. Saya makin bingung harus mencari uang ke mana untuk biaya anak masuk SMP," katanya lirih.
Menurut Nina, kepindahan dirinya dan keluarga ke Blok Puhun, Desa Gunung Karung, Kecamatan Luragung, Kabupaten Kuningan, juga akibat keadaan ekonomi yang terpuruk. Di tempat tinggal yang baru ini, Nina dan keluarga juga menempati rumah yang bukan miliknya. Dia hanya menumpang di rumah sangat sederhana milik bibi suaminya.
Disebut sangat sederhana karena rumah tersebut sangat sempit dan kumuh. Beralaskan semen, dengan dinding tembok yang sudah bolong-bolong.
"Saya juga tidak enak jika harus tinggal di sini terus. Apalagi yang punya rumah sudah mewanti-wanti dalam waktu dekat ini rumah harus dikosongkan karena akan diperbaiki dan ditinggali anaknya yang saat ini berada di Jakarta. Makanya saya berniat donor mata dengan harapan tidak hanya bisa membayar utang, tapi juga bisa tinggal di rumah sendiri," katanya.
Nina mengatakan, jika kelak ada orang yang mau menerima donor matanya, dia akan sangat bersenang hati. Namun berapa rupiah yang harus diperolehnya atas donor mata tersebut, Nina mengaku tidak mematok. "Berapa pun saya akan terima. Yang penting saya bisa ditolong dan menolong orang lain juga," ujarnya.
Namun karena masih ingin merawat anak-anaknya, terutama anak kedua dan ketiga yang masih balita, Nina mengatakan, hanya akan mendonorkan satu mata saja, tidak dua-duanya.
Mengenai rencana menjual mata ini, Nina mengatakan hanya atas keinginan diri sendiri. Malah orang tua dan keluarga besarnya tidak mengetahui niat tersebut. Hanya suami yang tahu, tapi belum sepenuhnya mengizinkan.
Nina memiliki berat badan 45 kilogram dan tinggi 155 sentimeter. Bertubuh mungil dan kulit putih bersih. Selama hidupnya, dia belum pernah mengalami sakit serius, hanya sering mengeluh pusing dan mudah pingsan.
"Saya sangat menantikan ada orang yang mau membantu saya," katanya. Karena itu, selain rela mendonorkan mata, Nina juga siap jika organ tubuh lain miliknya didonorkan dengan imbalan uang.