Zikir Bumi Gunung Padang, Refleksi Masyarakat Menjaga Bumi
TUJUH bocah warga Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur, berbaris rapi di pintu masuk situs megalit
Editor: Hendra Gunawan
Tulisan wartawan Tribun Jabar, Teuku M Guci
TRIBUNNEWS.COM -- TUJUH bocah warga Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur, berbaris rapi di pintu masuk situs megalit Gunung Padang, Minggu (21/4) pagi. Setiap bocah itu membawa lodong yang terbuat dari bambu.
Mereka mengantre untuk mendapat air kahuripan dari sang kuncen sebelum naik ke puncak situs Gunung Padang. Sang kuncen pun berkomat-kamit melakukan ritual di sebuah mata air dekat tangga masuk situs dibarengi pangrajah.
Satu per satu lodong tersebut dipenuhi air yang dituangkan sang kuncen dengan batok kelapa setelah melakukan ritual. Setelah lodong dipenuhi air, si bocah pembawa lodong pun meminum sisa air di batok kelapa.
Tak berhenti begitu saja, sang kuncen pun menyucikan sisa air kahuripan yang tak terminum tujuh bocah pembawa lodong kepada kaki seorang yang dituakan di Desa Karyamukti dan situs Gunung Padang.
Ahmad Sidiq, pria tua berjanggut yang menggunakan jubah putih, pun beranjak dari tempat berdirinya menuju puncak situs Gunung Padang setelah kakinya dicuci bersih dengan air kahuripan. Ia menaiki satu per satu anak tangga menuju situs Gunung Padang diiringi tujuh bocah pembawa lodong.
"Kegiatan ini namanya zikir bumi. Acara ini merupakan budaya yang dimiliki masyarakat sekitar situs Gunung Padang. Budaya ini sudah lama ditinggalkan masyarakatnya dan ini juga termasuk budaya Sunda," kata Wakil Ketua Forum Masyarakat Peduli Situs Megaliti (FMPSM) Gunung Padang, Zaenal Arifin, ketika ditemui Tribun, Minggu (21/4/2013).
Menurut Zaenal, tradisi zikir bumi terakhir dilakukan tahun 1970-an. Waktu itu Zaenal, yang masih duduk di bangku sekolah dasar, melakukan zikir bumi setiap menjelang hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Itu sebabnya tradisi tersebut diadakan kembali untuk melestarikan budaya nenek moyang yang pernah ada.
"Tradisi ini bukan pertama kalinya diadakan di situs karena sejak dulu memang sudah ada. Cuma tradisi tidak dilakukan lagi karena situs ini mulai dibuka untuk umum. Tapi karena situs ini sudah mulai terkenal di berbagai pelosok, bahkan dunia, sekalian saja kami perkenalkan budaya yang ada," kata Zaenal.
Tak hanya lodong berisikan air kahuripan yang dibawa menuju teras situs Gunung Padang. Di pagi yang cerah itu sejumlah warga Desa Karyamukti membawa tujuh rumah-rumahan yang juga terbuat dari bambu. Ketujuh rumah-rumahan itu juga dibawa ke lokasi zikir bumi.
Rumah-rumahan yang memiliki tujuh atap yang berbeda ini berisikan hasil bumi yang masih segar, misalnya timun, terong, pisang, brokoli, kangkung, tomat, dan sayuran lainnya. Hasil bumi itu memang tak begitu terlihat jelas lantaran tersembunyi di balik bambu yang menjadi dinding rumah-rumahan tersebut.
Di antara ketujuh rumah-rumahan tersebut pun ada yang berisi makanan yang berbahan dari olahan hasil bumi masyarakat Desa Karyamukti. Hasil olahan hasil bumi itu adalah getuk singkong, nasi tumpeng, petis, dan makanan khas lembur lainnya. "Ketujuh rumah itu namanya dongdang. Dongdang ini dibongkar seusai zikir bumi di teras kelima situs," kata Zaenal.
Puncak acara zikir bumi, kata Zaenal, adalah ketika membagikan hasil bumi di dalam dongdang dan air kahuripan kepada masyarakat, baik lokal maupun pendatang yang kebetulan sedang berkunjung ke situs Gunung Padang ini.
Menurut dia, hal tersebut merupakan refleksi sebagai masyarakat agar akur jeung dulur ngajaga lembur dalam menjaga bumi pertiwi dari kehancuran tanpa melihat latar belakang dan warna apa pun.
"Ngarak dongdang dan ngarak lodong merupakan kebasan masyarakat yang sudah ada secara turun temurun. Zikir bumi bagian tak terpisahkan dari budaya dan religi masyarakat sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan. Intinya zikir bumi ini bertujuan untuk mengajak berbagi ke sesama tanpa melihat perbedaan dan menjunjung tinggi kebersamaan," kata Zaenal.
Menurut Zaenal, zikir bumi memang menyerupai tradisi sedekah bumi di tempat lainnya. Hanya saja, tradisi zikir bumi di situs Gunung Padang menggunakan dongdang yang berjumlah tujuh. Dongdang, ucap Zaenal, memiliki makna tersendiri untuk menggambarkan situs Gunung Padang.
"Dongdang itu bangunan tempat tertentu seperti Gunung Padang di mana bangunan yang harus dikaji isinya. Di dalam situs Gunung Padang, ada pendidikan, kebudayaan, religi yang bermanfaat bagi masyarakat. Seperti halnya dongdang yang tertutup rapat, namun di dalamnya banyak hal yang bisa dibagikan kepada masyarakat," kata Zaenal.
Angka tujuh sendiri, kata dia, merupakan penggambaran alam semesta dan manusia yang hidup di dalamnya. "Bumi diciptakan Tuhan sebagai tempat dilahirkan dan bernaungnya makhluk hidup sehingga bumi pun selalu berintegrasi dengan proses perkembangan kehidupan. Hal ini menunjukkan betapa besarnya peran bumi dalam kehidupan," kata Zaenal.
Menurut Zaenal, di Indonesia, bahkan di seluruh dunia, banyak masyarakat yang lahir dari berbagai macam sukur, ras, agama, dan golongan. Namun pada intinya masyarakat itu tidak bisa hidup sendiri, melainkan manusia merupakan masyarakat sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya.
"Budaya ini bukan pertama kalinya ada di situs Gunung Padang dan sudah ada dari dulu. Buktinya, situs Gunung Padang tidak mungkin dibangun tanpa ada gotong-royong dan rasa kebersamaan. Karena itu, adanya zikir bumi sekaligus untuk memperkenalkan budaya yang pernah ada sekaligus membangun kembali jiwa gotong royong," kata Zaenal.
Karena itu, kata Zaenal, zikir bumi ini juga untuk meningkat kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap budaya yang dimiliki Indonesia, khususnya situs megalit Gunung Padang. Menurutnya, situs Gunung Padang ini tak hanya sebagai bangunan bersejarah, melainkan juga sebagai simbol pemersatu bangsa di bawah bendera merah putih.
"Mari semua menjaga dan melestarikan situs ini. Jangan sampai situs ini menjadi eksploitasi kepentingan-kepentingan kelompok dan individu. Kalau memang benar situs ini memiliki keunikan dan misteri, tolong publikasikan kepada masyarakat agar mereka mengetahuinya supaya menjaganya dan bukan untuk kepentingan kelompok dan merusak situs itu sendiri," kata Zaenal.
Hal senada dikatakan Direktur Lokatmala Intitute, Eko Wiwid, ketika ditemui Tribun di lokasi situs Gunung Padang, Minggu (21/4). Dikatakannya, acara tersebut merupakan cita-cita masyarakat untuk saling berbagi hasil bumi.
"Mereka punya sumber daya alam yang melimpah termasuk Gunung Padang. Karena itu masyarakat memiliki keinginan besar dengan bersilaturahmi berbagi dengan cara urunan kacang, pisang, timun untuk menjadikan situs bersejarah ini milik rakyat. Dengan zikir bumi ini menandakan jika situs Gunung Padang milik semua umat manusia bukan milik kelompok tertentu," kata Eko. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.