Jaksa Kantongi Nama Tersangka Dugaan Korupsi Alkes Jabar
Diam-diam penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar telah mengantongi nama tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Diam-diam penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar telah mengantongi nama tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) di Dinas Kesehatan (Dinkes) Jabar tahun anggaran 2011 senilai Rp 88,8 miliar. Dalam waktu dekat tersangka itu segera ditetapkan.
Asisten Pidana Khusus Kejati Jabar, Jaya Kesuma mengatakan, pihaknya terus mendalami pihak mana saja yang diduga melakukan penyalahgunaan dan penyimpangan pada proyek yang didanai APBD itu.
"Untuk kasus Dinkes Jabar masih berjalan dan sedang penyidikan. Mungkin dalam waktu dekat kita akan ekspos dan tentukan para tersangkanya," kata Jaya di Bandung, Kamis (18/7/2013).
Menurut Jaya, untuk kasus ini pihaknya memang tidak ingin terburu-buru dalam menentukan tersangka. Sebab harus didalami secara menyeluruh. Kasus serupa terkait pengadaan Alkes kata Jaya, juga ditemui di instansi lain. "Kasus serupa kini tersebar hampir di seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat," kata Jaya.
Terkait hal ini kata Jaya, pihaknya bakal menurunkan tim untuk menyelidiki proyek- proyek yang diduga kuat terjadi penyimpangan anggaran. "Pasti kita akan turunkan tim untuk lidik proyek-proyek yang patut dicurigai," katanya.
Disinggung mengenai peranan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Alma Luchiaty dalam kasus tersebut, menurut Jaya, peran Alma masih terus didalami.
"Tidak hanya Kadinkes semua pihak terkait pasti kita dalami, para pemenang tender, panitia pelaksana proyek dan pejabat-pejabat struktural di Dinkes sudah kami periksa dan dalami," ujar Jaya.
Jaya mengimbau kepada dinas-dinas di kabupaten/kota di Jawa Barat untuk berhenti melakukan praktik-praktik penyimpangan anggaran yang merugikan keuangan negara.
Terkait kasus ini, sebelumnya Kejati sudah melakukan pemeriksaan terhadap sepuluh orang saksi. Kesepuluh orang itu antara lain, Kadinkes Jabar dan panitia lelang.
Disinggung hasil pemeriksaan terhadap sepuluh orang tersebut, Jaya belum bisa memastikan dengan alasan untuk kepentingan penyelidikan lebih lanjut. "Terkait hasil pemeriksaan belum bisa kita sampaikan, karena menyangkut kepentingan penyelidikan," ujarnya.
Kasus dugaan korupsi Alkes di Dinkes Jabar itu dilaporkan ke Kejati Jabar pada Oktober 2012. Satu bukti dalam berkas laporan itu adalah surat dari Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) cabang Bandung/Jawa Barat. Surat dengan nomor 039/POGI/BDG-JBR/VI/2012 tertanggal 1 Juni 2012 itu ditandatangani Ketua POGI Bandung/Jabar, dr Udin Sabarudin SpOG MM MHKes.
Surat setebal 11 halaman itu merupakan balasan atas surat Nomor 027/7923/PEGUM dari Kadinkes Jabar dr Alma Luchyati yang menanyakan spesifikasi teknis Alkes untuk kelengkapan Puskesmas berfungsi PONED di Jabar. Dalam surat itu terlampir spesifikasi 11 Alkes rekomendasi POGI yang dibutuhkan untuk PONED.
Spesifikasi yang diajukan POGI, dimasukkan ke dalam dokumen lelang atas persetujuan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan PPTK. Selain itu, PPK juga membuat spesifikasi sesuai aturan tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) minimal 40 persen. Itu termuat dalam Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 49/M-IND/PER/5/2009 tentang Pedoman P3DN dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Ketika proses pembuatan dokumen lelang berjalan, ada perubahan drastis terhadap spesifikasi tadi. Itu karena ada oknum pimpinan DPRD Jabar yang memberikan daftar spesifikasi kepada Kadinkes Pemprov Jabar, PA, KPA, PPTK, PPK, dan panitia lelang.
Oknum pimpinan dewan itu ingin daftar spesifikasi tadi masuk dalam dokumen lelang agar perusahaan rekanannya menang dalam tender. Perubahan spesifikasi itu berimbas pada penggantian mendadak PPK. Awalnya, PPK adalah dokter obstetri dan ginekologi karena alkes yang dibutuhkan memang terkait dua hal itu. Namun PPK-nya diganti menjadi seorang dokter gigi.
Ada kekhawatiran dari sejumlah pihak, jika kasus korupsi Alkes 2012 itu dipetieskan, hal yang sama akan terjadi di tahun 2013. Apalagi di tahun 2013, anggarannya menembus Rp 286 miliar yang sangat riskan diselewengkan. (san)