Edward: Kasus Cebongan Ada Unsur Kesengajaan
Saksi ahli pidana Prof DR Edward Omar Sharif Hiariej yang dihadirkan tim penasehat hukum, menilai jika ada seorang pelaku
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, BANTUL - Saksi ahli pidana Prof DR Edward Omar Sharif Hiariej yang dihadirkan tim penasehat hukum, menilai jika ada seorang pelaku kejahatan yang seperti digambarkan majelis hakim kemungkinan ada unsur kesengajaan.
Majelis hakim, sebelumnya memberi gambaran apa yang dilakukan terdakwa penembakan di Lapas Cebongan Sleman semula dari keinginan cari pembacok tapi kemudian setelah mendapatkan informasi berubah mencari pembunuh.
Menurut saksi yang merupakan guru besar Fakultas Hukum UGM, melihat dari gambaran tersebut tidak adanya unsur perencanaan karena pelaku tidak melakukan pemotretan sebelum melakukan kejahatan seperti dimaksud dalam pengertian dollus repentitus.
Pertanyaan Ketua Majelis Hakim Letkol CHk Joko Sasmito, kepada saksi yang mengarah langsung pada kasus sempat diinterupsi oleh Oditur Militer Letkol Sus Budiharto karena jika dikawinkan antara pendapat dan kasus akan mempengaruhi persepsi dari Majelis Hakim.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Majelis Hakim meyakinkan pada oditur bahwa apa yang diucapkan oleh saksi ahli tidak akan mengikat penuh apa menjadi keputusan hakim.
Saksi kemudian menjelaskan ada lima kesesatan dalam kesengajaan yaitu, error in persona, error in objecto, alilitio actus (dia tahu sasaran persis tapi begitu ada pihak lain yang dianggap membahayakan akan dibunuh).
"Ketiga kesesatan tersebut di atas, bisa dijatuhi hukuman pidana," kata Edward saat memberikan kesaksian di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta, Jumat (19/7).
Tindakan kejahatan yang dilakukan pelaku bisa dikatakan sebagai perencanaan, harus tepat dalam kaitan dollus repentinus. Kesengajaan sebagai kemungkinan di dalam diri pelaku menghendaki satu akibat dan sudah diperhitungkan bahwa tindakan yang dilakukan bisa salah sasaran.
Kdtika pelaku tidak memperhitungkan akibatnya, tindakannya tetap masuk pada suatu unsur kesengajaan.
Hakim, juga sempat menyatakan keguncangan jiwa yang luar biasa tidak terjadi secara tiba-tiba pada saat itu sehingga melakukan tindakan yang bisa menjadi alasan pemaaf. Tapi, apakah terdakwa mengalami kegoncangan jiwa harus diperiksa oleh psikolog.
Sebelumnya, saksi ahli yang baru pertama kali memberikan keterangannya di pengadilan militer tersebut menjelaskan apa yang dimaksud dengan perbuatan pidana seperti ditanyakan oleh penasehat hukum Kolonel Rokhmat.
Yang dimaksud perbuatan adalah perbuatan yang dilarang dalam undang undang pidana. Mengandung unsur kemampuan dipertanggungjawabkan, sikap batin dan tidak ada alasan penghapus.
"Seseorang yang melakukan tindakan pidana belum tentu dipidana, tapi seseorang yang dipidana pasti lakukan pelanggaran pidana. Asas kesalahan tidak dimintai pertanggungkawaban pidana, tidak bisa dijatuhi hukuman pidana," jelas Edward.
Saksi juga menjelaskan perbedaan alasan pembenar maupun alasan pemaaf, dimana alasan pembenar menitikberatkan pada perbuatan sedangkan pemaaf pada pelaku.
Alasan pembenar dalam KUHP, lanjutnya ada empat yang pertama Terpaksa, perintah undang-undang, perintah jabatan dan darurat. Sedangkan alasan pemaaf, pembelaan terpaksa yg lampaui batas, kemampuan bertanggungjawab, perintah dan daya paksa.
Pada dunia hukum, dikenal dengan istilah constrain morale yaitu suatu keadaan tekanan luar biasa di mana pelaku mengalami goncangan jiwa sehingga melakukan sesuatu.
Edward memberi gambaran, seperti dalam film Time to Kill di mana seorang petani dibebaskan dari segala hukuman setelah melakukan pembunuhan kepada lima orang kulit putih yang memerkosa anak perempuannya berumur 14 tahun.
"Petani itu, dibebaskan karena dianggap mengalami goncangan jiwa dan yang menentukan hal tersebut adalah seorang psikolog atau psikiatri," tambahnya meski pelaku tidak langsung melakukan pembunuhan pada saat itu juga.
Saat penasehat hukum bertanya apa kesengajaan itu, saksi ahli menjawab kesengajaan sebagai kepastian, maksud dan kemungkinan. Dalam kesengajaan, harus ada dua unsur yaitu mengetahi dan menghendaki kalau tidak ada maka tidak memenuhi unsur kesengajaan.
Mengenai kejahatan berencana atau Dolus Repentinus, lanjut Edward pelaku sebelum melakukan kejahatan sudah memotret lokasi tempat akan melaksanakan kejahatan.
Berarti, jika masih ada seseorang masih mencari-cari itu bukan sesuatu yang direncanakan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.