Anhar Gonggong: Politik Dinasti Bisa Jadi Anti Demokrasi
Politik dinasti saat ini tidak bisa dihindarkan lantaran adanya kebebasan berpolitik
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politik dinasti saat ini tidak bisa dihindarkan lantaran adanya kebebasan berpolitik. Ha itu memang tidak ada yang salah, sejauh figur yang muncul adalah orang yang memiliki kapabilitas, integritas dan kapasitas. Tapi tidak sedikit juga yang mengharapkan politik dinasti harus dihilangkan karena cenderung melahirkan pemimpin feodal, korup dan anti demokrasi.
Sejarahwan dan Pengamat Politik Anhar Gonggong mengatakan bahwa politik dinasti merupakan warisan zaman kerajaan (monarchy) di mana titik kekuasaan hanya bertumpu di satu keluarga. Dan kekuasaan itu turun temurun mulai dari orangtua, anak, kakak, adik, ipar, dan seterusnya. Di era demokrasi seperti saat ini, politik dinasti menjadi ancaman serius karena sharing power dan distribusi kekuasaan tersumbat. Itu yang mulai terlihat di Makassar dan Sulawesi Selatan (Sulsel).
”Politik dinasti sangat merusak sistem politik demokratis karena menghambat orang lain untuk berkiprah. Meskipun, tidak salah jika memang sosok yang muncul dari dinasti memiliki kemampuan leadership yang cakap dan mumpuni. Tapi jika sebaliknya, politik dinasti akan menjadi momok. Kecenderungannya akan menjadi politik transaksional yang hanya melahirkan pemimpin berkarakter feodal, korup dan anti demokrasi. Lampu kuning tanda bahaya terhadap politik dinasti telah muncul di Makassar dan Sulsel,” ungkap Anhar di Jakarta, Selasa (23/7/2013).
Anhar Gonggong bahkan menyatakan bahwa keluarga besar Yasin Limpo di Sulsel adalah salah satu keluarga yang masuk dalam politik dinasti. Penciptaan kultur dan warisan dinasti telah dimulai sejak lama dari sang ayah, Yasin Limpo.
”Di era orde baru, Ny. Yasin Limpo telah menjadi anggota DPR berulang kali. Dan berikutnya adalah anaknya ada yang menjadi gubernur, bupati, anggota DPRD, kepala dinas, dan lainnya. Yang bisa menghentikan ini hanya kesadaran masyarakat untuk tidak memilih politik dinasti,” tandas Anhar.
Sementara itu, pengamat Politik Unhas Dr. Hasrullah menyatakan politik dinasti lebih banyak negatifnya dibanding positifnya. Terlebih, jika sosok dari dinasti tersebut tidak memiliki track record yang baik, seperti yang terjadi di Pilwako Makassar, yang hanya mengandalkan nama besar keluarga.
”Bayangkan, jika kakaknya gubernur, adiknya bupati, anggota DPRD, dan ada juga yang mau maju sebagai walikota, ini kan tidak baik. Karena memang politik dinasti sudah pasti kontra demokrasi,” tutur Hasrullah.
Kota Makassar, lanjut Hasrullah, adalah kota dunia. Sehingga sudah selayaknya dipimpin juga oleh sosok pemimpin yang kelas dan levelnya mendunia. Selain itu, juga sosok yang memiliki kemampuan leadership yang baik, pendidikan yang membanggakan dan selalu memberi teladan kepada rakyatnya.
”Untuk bisa melihat itu, calon-calon pemimpin ini harus melalui uji kelayakan di kampus, di depan akademisi. Dari sana bisa dilihat sejauh mana kapasitas kepemimpinan mereka. Dan, memang sudah saatnya politik dinasti segera dihentikan,” jelas Hasrullah.