Teka-Teki Erupsi Merapi dan Gempa di Perut Gunung Sebelum Letusan
Letusan freatik Merapi, ternyata bukanlah letusan tiba-tiba tanpa disertai gejala sebelumnya.
Laporan Reporter Tribun Jogja Ekasanti Anugraheni
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Letusan freatik Merapi pada Senin (18/11/2013) pagi, ternyata bukanlah letusan tiba-tiba tanpa disertai gejala sebelumnya.
Penelitian Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta menunjukkan, ada gempa tektonik kecil sehari sebelum letusan terjadi, tepatnya Minggu (17/11/2013).
"Setelah sinyal seismik broadbandnya dibongkar, ternyata ada gejala berupa gempa tektonik lokal yang mengguncang perut Merapi pada sehari sebelumnya," ucap Kepala BPPTKG Yogyakarta Subandriyo dijumpai di kantornya, Rabu (20/11/2013).
Menurut Subandriyo, setelah gempa tektonik, muncul tremor yang cukup lama. Namun karena intensitasnya gempa relatif kecil dan hanya sesaat, sehingga getarannya hanya dirasakan di kawasan puncak saja.
Itulah sebabnya, gempa tektonik lokal itu juga tidak terdeteksi oleh seismograf dan tidak dirasakan secara langsung oleh warga maupun pendaki yang berada di Merapi. Meski intensitasnya kecil, gempa tektonis lokal itulah yang mengguncang perut Merapi sehingga memicu pelepasan gas dan membentuk kolom asap setinggi 2 ribu meter.
Dengan demikian, Gempa Ciamis 4,7 Skala Ritcher yang terjadi semenit sebelum letusan serta hujan deras ternyata bukanlah penyebab utama letusan freatik.
"Letusan itu tetap akan terjadi walaupun tanpa adanya gempa Ciamis, tapi agak lambat. Itu (gempa Ciamis) hanya memicu sehingga letusan terjadi lebih cepat. Penyebab utamanya ya gempa tektonik yang mengguncang perut merapi, kemudian dipicu lagi dengan guncangan gempa Ciamis," paparnya.
Sesuai pencermatan BPPTKG Yogyakarta, letusan freatik itu juga mengakibatkan terbentuknya retakan baru di kubah (sumbat) Merapi. Retakan itu ialah yang terbesar sejak erupsi Merapi 2010, yang melintang hampir sepanjang diameter kubah Merapi.
"Sebelumnya memang banyak retakan-retakan yang terjadi. Kami tidak menghitungnya. Tapi ini retakan yang terbesar," ucap Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta Subandriyo, Rabu (18/11/2013).
Subandriyo menjelaskan, retakan baru itu sepanjang 230 meter melintang di tengah kubah (sumbat lava). Padahal diameter kubah lava tersebut sekitar 300 meter. Sedangkan lebar retakan beragam sekitar 50 meter.
Sedianya, retakan itu menjadi semacam saluran sehingga magma akan lebih mudah keluar. Namun, Subandriyo menegaskan jika retakan bukanlah indikasi adanya potensi letusan besar.
"Kalau magmanya dalam porsi besar maka aka nada akumulasi tekanan sehingga menyebabkan letusan besar. Tapi kalau magmanya kecil, retakan itu justru menyebabkan magma akan keluar lebih smooth," paparnya.
Retakan besar itu juga bukanlah pemicu terjadi letusan freatik berikutnya. Air hujan yang masuk melalui retakan dan berinteraksi dengan magma tidak selalu menyebabkan letusan freatik.
Reaksi itu (kolom asap setinggi 2000 meter) ada karena kondisi magma Merapi sedang matang (sangat panas). Kalau tidak, hujan deras atau gempa lebih besar belum tentu memicu adanya letusan.
"Berdasarkan pengalaman, belum pernah ada letusan freatik yang diikuti letusan freatif berikutnya (dalam waktu dekat)," tandasnya. (esa)