Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

30 Ribu Pekerja Tambang Terancam PHK di Kalbar

Sebanyak 30 ribu pekerja tambang di Kalimantan Barat terancam putus hubungan kerja (PHK) akibat dampak dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1

Editor: Budi Prasetyo
zoom-in 30 Ribu Pekerja Tambang Terancam PHK di Kalbar
Ilustrasi pekerja Tambang 

Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Steven Greatnes

Pengusaha Nilai Pemerintah Pilih Kasih

TRIBUNNEWS.COM   PONTIANAK – Sebanyak 30 ribu pekerja tambang di Kalimantan Barat terancam putus hubungan kerja (PHK) akibat dampak dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 yang isinya melaksanakan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang mineral dan batu bara (Minerba). Satu di antara isi PP tersebut mengamanatkan larangan ekspor mineral mentah.

“Perusahaan kami ada sekitar 400 tenaga kerja. Jika secara total di Kalbar ada 20-30 ribu tenaga kerja yang berhubungan langsung dengan tambang terancam PHK. Belum lagi kontraktor, perusahaan yang berhubungan , buruh bongkar muat, tenaga angkutan pontoon, dan banyak lagi akan kena dampaknya,” kata Direktur PT Putra Alam Lestari, Hengky RN kepada Tribunpontianak.co.id di kantornya, Selasa (14/1/2014).

Dampak lainnya dari PP Nomor 1 Tahun 2014 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mulai berlaku sejak 12 Januari 2014, jelas mempengaruhi nilai ekspor Kalbar yang dapat menganggu perekonomian. Ekspor hasil pertambangan Kalbar didominasi bauksit, yaitu diekspor berkisar 20-25 juta ton per tahun.

Hengky menuturkan, pihaknya belum menerima dan membaca isi PP tersebut secara detil sehingga belum bisa banyak berkomentar tentang larangan ekspor Minerba. Ia mengaku selama ini baru mendapatkan informasikan dari berita di media yang berupa statmen menteri.

Kendati begitu, ia menilai pemerintah pilih kasih terhadap pengusaha tambang lokal dengan perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK) seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara (NTT). Alasannya, pemegang KK tidak diwajibkan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral serta masih diizinkan melakukan ekspor mentah hasil pertambangan.

Berita Rekomendasi

“Sedangkan pemegang IOP (Izin Operasi Produksi) dan IUP (Izin Usaha Pertambangan) malah dilarang ekspor. Padahal di dalam Undang-undang tidak ada tersirat dan tersurat larangan ekspor, yang ada pengendalian ekspor bahan mentah dalam negeri. Artinya bahan mentah kebutuhan dalam negeri dipenuhi baru boleh ekspor,” jelasnya.

Hengky menilai, terjadi salah penafsiran arti pengolahan dan pemurnian yang ada di dalam peraturan oleh pemerintah khususnya para menteri. Karena pemurnian diartikan 100 persen. Selain itu baik di dalam peraturan pemerintah terdahulu dan undang-undang tentang pertambangan tidak ada istilah pelarangan ekspor mineral mentah.

Ia menambahkan, selama  ini sudah melakukan kegiatan pengolahan atas hasil tambang bauksit. Di mana kandungan bijih bauksit yang dihasilkan sangat rendah yaitu baru sebesar 30 karat, sehingga harus diolah jadikan 50 karat. Kegiatan tersebut sudah merupakan upaya menjadikan bauksit yang diekspor memiliki nilai tambah.

“Untuk itu, kami tetap berharap bisa ekspor karena sesuai aturan, yang ada tidak ada larangan ekspor oleh pemerintah. Pembangunan smelter itu ditujukan untuk industri bukan untuk kegiatan pertambangan,” ungkapnya.

Menurut Hengky, pengusaha tambang bersedia membangun smelter tapi tidak dengan cara mendadak seperti yang dilakukan pemerintahan SBY saat ini, melainkan diatur waktunya.

“Mungkin 10 tahun mendatang, tapi sebelumnya harus terus diawasi dengan ketat kegiatan pertambangan yang ada di dalam negeri. Langkah ini mungkin bisa terwujud, sebab pengusaha besar saja seperti Aneka Tambang bangun smelter di Tayan sudah direncanakan belasan tahun yang lalu baru terealisasi sekarang,” ujarnya. (sgt)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas