Para Artis pun Pakai Jasa Wanita Panggilan Papan Atas di Kota Semarang
Menurut keterangan karyawan di sebuah hotel di Semarang, tamu di hotel tempatnya bekerja, acapkali meminta layanan jasa wanita
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Prostitusi memang tak mengenal ruang dan waktu. Bisnis ini tak sekadar ada di lokalisasi atau pinggir jalan gelap, namun juga merambah hotel, mal dan tempat-tempat umum.
Geliat bisnis ini bisa merambah seluruh ruang, karena masing-masing kelas sosial cenderung memilih perempuan kelas tertentu. Tamu hotel, misalnya, tidak sembarangan menggunakan jasa pekerja seks komersil (PSK). Umumnya, mereka memilih wanita panggilan papan atas.
Menurut keterangan karyawan di sebuah hotel di Semarang, sebut saja Arnold, tamu di hotel tempatnya bekerja, acapkali meminta layanan jasa wanita panggilan.
"Artis nasional yang nginap di sini, ada yang request wanita panggilan," ujar Arnold.
Untuk mendapatkan wanita panggilan, para tamu di hotel tempat Arnold bekerja, tidaklah sulit. Ia sering melihat dua hingga tiga perempuan yang diduga mucikari. Perempuan itu biasanya memesan kamar sekitar empat jam sebelum digunakan kliennya.
"Beberapa saat setelah memesan kamar, yang masuk bukan perempuan yang memesan itu, tapi seorang pria kemudian disusul wanita," kata Arnold.
Selain menggunakan jasa mucikari, para tamu dan perempuan panggilan, juga memanfaatkan jasa bell boy hotel. Gendis (nama samaran) adalah satu di antaranya. Saat Tribun Jateng (Tribunnews.com Network) menemuinya, perempuan berambut panjang dan bertubuh langsing sama sekali tidak terkesan sebagai perempuan panggilan.
Untuk meyakinkan Tribun Jateng, Gendis pun mengeluarkan ponselnya dan membuka file foto-foto di gadgetnya itu. Terlihat dalam beberapa foto, Gendis berpose mesra dengan beberapa pelanggannya di ranjang sebuah hotel.
Berdasarkan foto-foto yang diperlihatkannya itu, Gendis pun mengaku bila ia bisa mendapatkan tamu dua lelaki hidung belang setiap hari, meski tanpa mucikari.
"Kadang-kadang malah bisa tiga hingga empat orang per hari. Itu pun berpindah-pindah dari satu hotel ke hotel lain," katanya.
Alasan Gendis tidak menggunakan jasa mucikari adalah, pendapatannya akan terpotong dalam jumlah besar. Dengan cara itu, tarif yang dipasang Gendis Rp 1 juta untuk dua jam layanan, hampir semuanya bisa masuk ke kantongnya.
"Paling-paling hanya kepotong untuk memberi uang bell boy antara Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu," kata Gendis.
Selain alasan pendapatan, Gendis merasa lebih praktis bila bekerja solo karier. Dalam kesehariannya, gadis 21 tahun yang mengendarai mobil warna merah berplat nomor cantik ini tidak perlu “mangkal” di hotel atau tempat-tempat tertentu untuk mencari pelanggan. Saat tidak melayani klien, Gendis beraktivitas layaknya remaja pada umumnya.
Gendis baru meluncur ke hotel, setelah ada telepon atau pesan pendek (SMS) atau BBM dari bell boy hotel kenalannya.
"Paling sering mendapatkan orderan melalui bell boy atau petugas hotel," kata Gendis kepada Tribun Jateng, pekan lalu.
Yang paling penting, lanjut Gendis, dengan cara bekerja tanpa mucikari, identitasnya sebagai perempuan panggilan tidak diketahui banyak orang.
"Bila ikut mami, biasanya si mami akan sering mempromosikannya, jadi mudah diketahui orang banyak," katanya.
Upaya lain agar privasinya tetap terjaga adalah, dengan cara memarkir mobilnya di tempat yang agak jauh dari hotel.
"Aku lebih sering naik taksi ke hotel. Mobil saya parkirkan di mal atau tempat lain agar tidak mudah dikenali," kata perempuan asli Semarang ini.
Cerita serupa juga diungkapkan wanita panggilan lainnya, sebut saja Lilis. Sehari-hari, perempuan asal Bandung ini tinggal di rumah kos kawasan Bukitsari, Semarang. Untuk menunjang penampilan dan kegiatan ‘bisnisnya’, Lilis pun melengkapi dengan mengendarai mobil.
Sama dengan Gendis, Lilis tidak mau sembrono mengendarai mobilnya ketika masuk ke hotel tempat kliennya menginap. Ia memilih menyewa taksi dan memarkir mobilnya di kos, atau di mal.
"Sebelumnya saya nelepon ke hotel itu, apakah sudah ada pesanan kamar atas nama tamu tersebut. Jika ada saya baru mau ke hotel itu. Sebagai imbalan, saya kasih Rp 100 ribu ke pegawai hotel," kata Lilis yang mematok tarif Rp 500 ribu sekali kencan. (tribun jateng cetak/tim)