Mimpi Sederhana Nur Yasin, Pelopor Pertanian Organik dari Sulsel
Pada saat petani lain memacu produksi dengan pupuk kimia, Nur Yasin malah memelopori pertanian organik.
Penulis: Agung Budi Santoso
Laporan: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM, BARRU - Pada saat banyak petani memilih cara instan melipatgandakan hasil kebun dan sawah dengan berbagai obat dan pestisida pemacu kecepatan pertumbuhan tanaman, petani muda bernama Nur Yasin, 32, ini sebaliknya amat getol memelopori sistem pertanian organik.
Yang menarik, kepeloporan itu dia lakukan di lahan yang relatif gersang di sekitar tempat tinggalnya di Tanete Rilau, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Lazimnya untuk lahan gersang seperti itu, orang biasanya cari cara mudah, yakni dengan pupuk kimia. Tapi Yasin malah bersusah payah pakai pupuk organik yang dia produksi sendiri.
Ia juga tularkan cara bercocoktanam organik itu pada masyarakat sekitarnya. Ilmu memproduksi pupuk organik dia tularkan secara cuma-cuma. Tak perlu bayar untuk kursus organik padanya. "Saya cuma ingin warga sekitar tidak melulu menggantungkan hidup pada hasil laut. Jangan karena alasan tanah gersang, lahan tidur segini luasnya dibiarkan mubazir dan tak produktif," tutur Nur Yasin kepada Tribunnews.com.
Demi membebaskan kawasan sekitar tempat tinggalnya dari problem pangan, pria berpostur langsing ini memroduksi sendiri pupuk kompos dan pupuk cair alami dari berbagai bahan organik yang mudah didapatkan di sekitar rumahnya. Ia ingin menyelesaikan masalah ketidakadilan pangan di sekitar kediamannya dengan melibatkan masyarakat sekitar. Yasin ingin sawah dan kebun sekitar rumahnya bisa sesubur seperti lahan-lahan pertanian di Pulau Jawa.
Pupuk kompos bikinannya berkomposisi kotoran sapi, kotoran ayam, sekam gergaji, keong, bintang laut, plus gula merah. Semua bahan dasar itu difermentasi menjadi pupuk. Yang pasti, semua bahan itu tidak ada yang beli, kecuali gula merah.
Sebagian dari pupuk kompos bikinannya dipakai sendiri untuk menyuburkan lahan seluas 12.000 M2 yang digarapnya. Sebagian lainnya dipasarkan dengan harga murah meriah. Mengapa dijual murah meriah?
"Saya nggak cari untung. Yang penting bisa membuat banyak orang ketularan menerapkan pertanian organik," kata Nur Yasin, ketika ditemui Tribunnews.com, di lahan tempat dia bercocok tanam di Dusun Maralleng, Desa Pao-pao, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, Selasa (4/2/2014).
Nur Yasin memetik cabe hasil pertanian organik dari kebunnya.
Hasil penjualan pupuk kompos organik memang tidak 'spektakuler.' Tapi yang patut dihargai adalah itikad baiknya menyelamatkan lingkungan dari bahaya pestisida dan pupuk kimia dalam produk pertanian bagi kesehatan.
"Berhentilah meracuni diri sendiri," kata Nur Yasin, seorang petani di pelosok, hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) tapi mampu berbahasa Indonesia dalam tata bahasa dan struktur kalimat yang baik itu. Ia bertekad kampung tempatnya bercocok tanam akan bebas pestisida di masa mendatang.
Demi misi sosial itu, produk pupuk kompos organik bikinannya dibanderol murah meriah seharga hanya Rp 1.000 per kilogram. Tak hanya itu, dia sering mengobral dengan porsi lebih kalau yang membeli tetangga-tetangga terdekatnya.
"Saya punya tekat, mendorong petani bertanam secara organik. Dalam lima tahun ke depan desa ini harus bebas pestisida," tutur Nur Yasin, petani yang berusaha jujur dan apa adanya itu.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.