Dulu Tukang Ngerumpi, Kini Ibu-ibu di Kampung Ini Sibuk Berbisnis Rumput Laut
Dulu ibu-ibu di kampung ini terbelakang, kegiatannya cuma ngerumpi. Kini mereka sibuk berbisnis rumput laut. Kok bisa?
Penulis: Agung Budi Santoso
Melalui program Restoring Coastal Livelihood (RCL) alias Restorasi Penghidupan Masyarakat Pesisir, kaum wanita dientaskan dari kebodohan, ketertutupan dan ketidakberdayaan dalam mengambil keputusan menyangkut kepentingan mereka.
Boedi Sardjana Julianto, Project Manager RCL di kawasan ini menuturkan, ada empat kabupaten di daerah pesisir Sulsel yang kaum wanitanya harus segera dientaskan dari keterbelakangan pendidikan.
Yakni Kabupaten Pangkep, Takalar, Maros dan Barru. "Kaum wanita di daerah seperti ini memang perlu harus diberi ketrampilan berbicara dan berani mengambil keputusan. Kalau tidak, nasib mereka diputuskan orang luar," tutur Boedi.
Boedi bertutur, Kemiskinan dan ketertinggalan memang sudah menjadi citra yang melekat kuat pada diri masyarakat pesisir. Hal ini dapat terlihat dari kondisi kehidupan masyarakat pesisir yang jauh tertinggal dibandingkan dengan masyarakat yang bermukim di wilayah desa daratan atau perkotaan.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya minimnya ketersediaan informasi dan teknologi, dalam mengelola smber daya alam, akses transportasi yang jauh, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan, adat budaya, kepercayaan, kuatnya pandangan-pandangan terhadap mitos-mitos tertentu dan kurangnya keberpihakan kebijakan pemerintah pada pembangunan pesisir.
Padahal faktanya Indonesia adalah negara kepulauan yang 70 persen wilayahnya terletak di pesisir pantai.
Dengan demikian jumlah rakyat Indonesia yang hidup di wilayah pesisir pantai jauh lebih besar dibanding dengan yang menetap di wilayah darat dan perkotaan.
"Sungguh ronis ketika kebijakan pemerintah sangat tidak berpihak pada masyarakat pesisir. Berangkat dari permasalah di atas, maka sudah sepantasnyalah kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas masyarakat dan kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin lebih difokuskan di wilayah pesisir," tutur Boedi.
Karena itu, hal utama yang penting segera dilakukan adalah peningkatan pikiran kritis dan kapasitas masyarakat pesisir terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, peningkatan posisi tawar masyarakat terhadap intervensi pihak luar dan penguatan kapasitas masyarakat pesisir terhadap penentuan kebijakan pemerintah.
"Dengan memiliki pikiran kritis dan cerdas, masyarakat dapat mengambil keputusan sendiri dan tidak tergantung terhadap intervensi pihak luar terkait bagaimana melakukan pengelolaan terhadap sumber daya alam secara berkelanjutan dan menguntungkan mereka, mereka juga dapat mencari solusi sendiri terhadap permasalahan yang mereka hadapi tanpa harus menunggu solusi dari pihak luar," tutur Boedi.
Karena itu, Sekolah Lapang pesisir dijadikan media pembelajaran yang tepat karena memposisikan masyarakat sebagai subjek dalam aktivitas.
Prinsip yang digunakan oleh sekolah lapang yaitu pendidikan orang dewasa (POD) dimana semua orang memiliki posisi yang sama dan tidak ada saling menggurui.
Menurut Soni Kusnito, staf Lapangan dari Oxfam, dalam Sekolah Lapang, studi-studi ilmiah dikemas secara sederhana, disesuaikan dengan kondisi tingkat intelektualitas para ibu.
"Rata-rata ibu rumahtangga di sini cuma lulusan SD. Sekolah Lapang mendidik mereka mengejar ketertinggalan mereka dalam hal pengetahuan umum, kepandaian berbicara, dan ketrampilan rumahan yang bisa menghasilkan sesuatu yang produtif," tutur Soni.