Musikus Melanie Soebono Bawa Masalah TKI ke PBB
Ia sangat lantang menyuarakan pembebasan Satinah dan Wilfrida Soik dari hukuman mati.
Editor: Sugiyarto
*Pastilah. Sekarang ada di posisi yang lemah. Wong lelet (lambat). Contoh kasus Satinah. Saat uang diyatnya hanya 1,250 miliar, kenapa tidak langsung dibayar?
Selama ini, upaya pembelaan buruh migran lebih banyak digerakkan masyarakat ketimbang institusi pemerintah. Apa pendapat Anda?
*Tidak apa-apa. Toh mereka itu juga bisa duduk di kursi pemerintahan karena suara kita kok."
"Artinya mereka bisa turun karena suara kita juga. Setiap ada kabar buruh migran terancam hukman mati, baru ada gerakan untuk mencegahnya."
Kenapa tidak ada upaya preventif, misalnya pendampingan sejak dalam pemeriksaan polisi?
*Saya juga syok dengan fakta bahwa mereka yang sudah divonis mati tidak didampingi pengacara atau penerjemah. Nah, jadi jangan marah kalau sudah terlambat. Akhirnya negosiasi menjadi alot dan uang diyat menjadi mahal."
Apa sih yang dikerjakan orang yang kita gaji di sana? Bagaimana Konjen? Dubes? KBRI? Tetapi, minggu ini semuanya akan resmi terdengar.
*Jadi, saya membawa kasus ini ke PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa).
Apakah perlu pemerintah benar-benar menghentikan pengiriman TKI di negara-negara yang konstitusinya melemahkan kemanusiaan warga asing?
*Memangnya mereka (pemerintah) mau berhenti terima uang yang nyaris Rp100 triliun setiap tahun dari devisa TKI?
Sejak kapan Anda terlibat aktif dalam gerakan ini?
*Kalau untuk buruh ini sudah tahun ketujuh dan untuk pekerja migran, sudah tahun keempat. Saya bekerja tahun lalu dengan anak dari TKI yang terhukum mati, Ruyati."
"Bahkan, dengan Imas, Tati dan lain-lain. Tetapi, kali ini saya harus lebih kencang berteriak-teriak, karena tampaknya presiden kita semakin bebal kupingnya."
Apa yang membuat Anda akhirnya mau terjun dalam gerakan pembelaan buruh migran?