Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sapi Tiren Banyak Beredar di Pasar Bali

Kalau sapi mati karena sakit biasanya di jual Rp 2 juta, tapi juga nanti akan dilihat pembelinya dilihat kondisi sapinya, besar kecilnya, sakitnya," k

zoom-in Sapi Tiren Banyak Beredar di Pasar Bali
surya/Hanif Manshuri
Dua truk tabrakan hebat, dua sapi mati terkapar di jalan raya Lamongan-Gresik. Inzet: Moncong truk hancur. 

TRIBUNNEWS.COM,DENPASAR - Belakangan ini daging sapi mati kemarin (tiren) ternyata banyak beredar di pasar di Bali.

Daripada sapi yang mati karena sakit atau kecelakaan itu dibuang, dagingnya kemudian dijual, apalagi banyak yang mencari daging.

Padahal, daging sapi yang mati tidak wajar atau tidak disembelih dengan baik itu lebih berbahaya karena perkembangan bakteri lebih cepat.

Warga Tabanan, JG, yang sempat menjual sapi tiren  ke rumah potong hewan (jagal) di Kabupaten Badung, mengaku pernah menjual sapi mati kepada penjagal dengan harga yang lumayan.

"Kalau sapi mati karena sakit biasanya di jual Rp 2 juta, tapi juga nanti akan dilihat pembelinya dilihat kondisi sapinya, besar kecilnya, sakitnya," katanya kepada Tribun Bali, belum lama ini.

Jika sapi mati karena kecelakaan, maka harganya akan lebih mahal dibandingkan dengan sapi mati karena sakit.
"Kalau kecelakaan kan paling patah-patah saja, dagingnya masih segar, harganya sekitar Rp 4 jutaan lah," imbuhnya.

Harga yang disebutkan ini dengan asumsi sapi dewasa yang memiliki harga saat hidup Rp 10 juta.

Menurutnya, menjual sapi mati ke penjagal bukan hal yang aneh, di kampungnya hal itu adalah biasa dan sering dilakukan oleh peternak lainnya.

Terlebih ada banyak tukang jagal yang siap menerima sapi-sapi mati tersebut.

"Belinya nanti bukan harga per kilogram daging, tapi hitungan per ekor," jelasnya.

Terkadang, kata dia, sapi peternak mati secara mendadak, meskipun sebelumnya masih terlihat sehat.

Karena itulah daripada terbuang sia-sia, maka mereka memilih untuk menjualnya daripada harus dikubur.

Niat oknum peternak yang menjual sapi mati ini karena ada orang yang membutuhkan dan berani membayar dengan harga yang lumayan.

Pria yang kesehariannya bertani ini kemudian memberikan beberapa referensi alamat tukang jagal sapi yang biasa membeli sapi mati dan sapi hidup dari peternak.

Tribun Bali kemudian melakukan penelusuran ke lokasi yang disebutkan oleh warga yang sempat menjual sapi mati tersebut.

Di wilayah yang masuk kabupaten Badung ini dikenal sebagai tempatnya tukang jagal atau jual beli daging sapi dan sapi hidup.

Sayangnya, saat disambangi beberapa waktu lalu, di lokasi ini sepi dari aktifitas jual beli binatang penghasil daging tersebut.

Tribun Bali yang melakukan penelusuran kemudian mendapatkan nomor ponsel pedagang daging yang biasa menerima orderan daging sapi.

Hanya saja, pedagang berinisial WB ini enggan untuk bertemu.

Namun dia bersedia dihubungi dengan wawancara via ponsel. Dia langsung merespons ketika ditawarkan membeli sapi mati karena kecelakaan di wilayah Denpasar.

"Kapan bisa saya ambil sampi (sapi)-nya," jelasnya. Hanya saja karena lokasi dan tempat tinggalnya cukup jauh, maka dia meminta untuk biaya transportasi dan biaya jagal tukang jagal.

Dia menjelaskan perlu tiga orang jagal untuk memutilasi atau memotong-motong sapi menjadi bagian-bagian kecil. "Nanti kalau tidak dipotong-potong kalau ketahuan polisi kan gimana? Karena ini kan matinya tidak wajar (bukan karena disembelih)," katanya.

Sapi akan dipotong-potong di lokasi tempat penjual sapi berada. Untuk memutilasi satu ekor sapi dewasa hanya membutuhkan waktu maksimal satu jam.

"Cepat kok, setelah itu langsung kita angkut ke mobil pick up, terus dibawa ke tempat jagal," ujarnya.

Daging-daging ini kemudian akan dijual ke masyrakat, bahkan ke sejumlah pasar.

Lewat informasi seorang petani yang pernah menjual sapinya dalam keadaan mati, dikatakan, biasanya sapi yang telah mati karena sakit atau akibat tertabrak kendaraan langsung di beli oleh penjagal.

Namun harganya separuh dari harga hidup sapi.

“Kalau sudah dalam keadaan mati harganya 50 persen dari harga hidup dan itu pun tergantung dari kondisi sapi. Umpama harga sapi Rp 10 juta, harga yang kasih ke kita sebagai pemilik sekitar Rp 4 juta sampai Rp 5 juta,” ujar pria bernisial PK ini.

Dalam perbincangan, PK meminta harga separuh dari harga sapi hidup. Untuk sapi seharga Rp 8 juta, ia menawar seharga Rp 4 juta dan itu pun tergantung kondisi sapi serta jangka waktu matinya.

“Biasanya harga kita tawarkan setengah dari harga hidupnya. Kan itu udah dalam kondisi mati,” jelasnya.
Dari harga yang telah ditetapkannya, jika lokasi si pemilik sapi jauh, dikatakannya, akan dikenai biaya transportasi sebesar Rp 300 ribu.

”Ada ongkos transportnya dan tegantung lokasi. Karena sapi yang sudah mati kita langsung jagal di tempat, tidak dibawa utuh,” ujarnya.

Berbeda dengan sapi mati karena tertabrak, sapi tiren karena sakit harganya lebih murah.

Menurut PK,  perbedaan harga tersebut karena daging sapi sakit, dagingnya sudah berubah warna dari merah menjadi merah kehitaman dan dagingnya sudah tak segar serta berbau anyir.

“Sapi mati sakit secepatnya kita jagal. Kalau enggak, dagingnya cepat busuk. Harga sapi mati yang saya beli harganya Rp 1 juta sampai Rp 2 juta. Tetap kita lihat kondisinya, kalau matinya sudah lama, kita nggak ambil,” ujarnya.

Diungkapkannya, sapi mati yang telah dimutilasi akan dipasarkan ke sejumlah pasar di kawasan Badung dan Tabanan.

Dan harga jualnya pun ditawarkan sama dengan harga normal yang berlaku di pasaran.

“Saya jual keliling ke beberapa pasar di Tabanan dan Badung. Tapi biasanya ada juga pedagang daging sapi yang datang langsung ke kita,” jelasnya.

Bakteri Cepat Berkembang
DAGING sapi mati kemarin akan mengalami pembusukan yang lebih cepat dibanding daging yang disembelih. Daging tiren akan sangat berbahaya jika hewan yang bersangkutan mati karena penyakit.

"Bakteri akan gampang berkembang biak karena pembusukan pada daging tiren akan lebih cepat," kata Kepala Dinas Peternakan Kota Denpasar, AA Gde Bayu Bramasta, kepada Tribun Bali.

Biasanya modus yang dilakukan oleh orang yang menjual daging tiren adalah daging akan direndam di air agar kelihatan lebih segar.

Celakanya semakin lama direndam dengan air maka potensi berkembangnya bakteri semakin tinggi.

"Sebagaimana kita ketahui air itu sebagai media untuk berkembangnya bakteri," ujarnya.

Untuk daging tiren yang mati karena kecelakaan lalu dikonsumsi, dari segi medis daging tiren yang mati karena kecelakaan seperti ditabrak kendaraan dianggap tidak terlalu bahaya jika waktu kematian dengan konsumsi tidak terlalu panjang.

"Tapi kalau daging tiren yang mati karena penyakit itu sangat berbahaya," jelasnya.

Jika mengonsumsi daging tiren yang mati karena penyakit maka bisa menyebabkan berbagai macam penyakit.

"Akan menyebabkan penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri atau lainnya. Penyakit itu seperti gangguan organ pencernaan," jelasnya.

Untuk mengetahui daging tiren dan daging normal secara tampilan fisik bisa dilihat dari warna.

"Kalau daging tiren warnanya lebih muda (pucat), kelenturan (tekstur) daging kalau dipencet baliknya lambat," katanya.

Selain itu dari segi aroma daging, kata dia, juga berbeda.

Jika daging tiren aromanya tidak menyengat khas aroma daging. "Kalau daging segar aromanya khas ya seperti aroma daging kambing itu, baunya khas," terangnya.

Sumber: Tribun Bali
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas