Perang Pandan Desa Tenganan, Wujud Ngayah kepada Desa dan Leluhur
"Makanya kalau zaman dulu ikut Perang Pandan, harus sampai mengeluarkan darah. Soalnya darah yang keluar itu digunakan untuk pewarna kain Geringsingan
TRIBUNNEWS.COM,DENPASAR - DESA Tenganan Dauh Tukad yang biasanya jauh dari keramaian, mendadak penuh oleh kerumunan orang-orang.
Mereka bukan hanya warga lokal, tapi orang luar Bali.
Mereka datang ke desa tradisional ini untuk menyaksikan tradisi Perang Pandan yang dilakukan setahun sekali oleh warga Tenganan Dauh Tukad.
”Saya dari Jakarta, sudah tiga hari nginap di Nusa Dua. Saya datang kesini untuk melihat tradisi Perang Pandan yang unik,” ujar Diah Maharani.
Tak hanya para wisatawan domestik, puluhan wisatawan luar negeri juga datang untuk menikmati tradisi Perang Pandan yang menjadi puncak acara Ngusaba Sambah. Mereka semua berdiri di bawah panggung yang terbuat dari pohon kelapa.
Pelaksanaan tradisi Perang Pandan diiringi tetabuhan gong oleh sekaa gong Desa Tenganan Dauh Tukad. Adapun para gadis desa tampil dengan pakaian khas Bali berjejer di depan sekaa gong.
”Bunyi gong serta puluhan gadis ini sebagai penyemangat para peserta Perang Pandang. Tujuan Perang Pandan ini adalah untuk ngayah (berbakti) kepada desa dan leluhur,” ujar Bendesa Adat Tenganan Dauh Tukad, I Putu Ardana.
Ketika tradisi Perang Pandan dimulai, suasana pun semakin heboh. Para pria Desa Tenganan Dauh
Tukad terlibat pertarungan dengan senjata duri pandang dan sebuah ende (tameng). Peserta Perang Pandan diwajibkan mengerek-gerekkan duri pandan ke bagian badan lawan hingga keluar darah.
"Saya sudah sering ikut tradisi Perang Pandan. Saya ikut Perang Pandan semata-mata untuk ngayah kepada desa dan para leluhur di Desa Tenganan Dauh Tukad,” ujar seorang peserta, I Wayan Arta.
Tak hanya kalangan remaja dan orang tua yang berpartisipasi dalam tradisi Perang Pandan, beberapa anak kecil di bawah umur tak mau kalah. Satu di antaranya I Wayan Sukada (12) yang mengaku sudah biasa ikut serta tradisi tahunan ini. ”Nggak terlalu sakit kena geretan duri Pandan. Soalnya saya sudah biasa, nanti saja lukanya hilang,” aku Sukada.
Setelah Perang Pandan selesai, beberapa peserta yang badannya terluka diolesi obat tradisional yang manfaatnya untuk menghilangkan bekas luka akibat geretan duri Pandan.
”Ramuan ini dibuat dari arak, kunyit, lengkuas, serta rempah-rempah lainnya. Ramuan ini dibuat oleh warga Desa Tenganan Pegeringsingan. Perih kena ramuan ini,” tambah Bendesa Adat, I Putu Ardana.
Menurut Ardana, Perang Pandan merupakan warisan dari para leluhur Desa Tenganan Dauh Tukad. Awalnya serangkaian tradisi Perang Pandan dikhususkan untuk Dewa Indra yang merupakan simbol Dewa Perang.
”Saat itu, para leluhur melakuan tradisi Perang Pandan hingga mengeluarkan darah (Penabah Rah),”jelas Ardana.
Dulu, darah yang keluar dari badan para peserta Perang Pandan digunakan sebagai pewarna kain Geringsingan yang menjadi simbol Desa Tenganan.
"Makanya kalau zaman dulu ikut Perang Pandan, harus sampai mengeluarkan darah. Soalnya darah yang keluar itu digunakan untuk pewarna kain Geringsingan,”tambah Ardana.
“Jadi tradisi Mekare-karean ini betul-betul kita persembahkan kepada Dewa Indra serta kepada para leluhur kita yang telah memberikan segalanya kepada kampung ini,” imbuh Ardana, yang menggunakan pakaian adat Bali.
Ardana coba menjelaskan makna tradisi Perang Pandan di era ini. Darah yang keluar dari badan peserta tidak lagi dipakai membuat kain Geringsingan, karena sudah ada pewarna.
”Jadi darah yang keluar dari badan peserta Perang Pandan saat ini ditujukan kepada para Dewa, serta leluhur kita. Karenanya dalam Perang Pandan ini tetap dianjurkan menggeret lawan dengan duri Pandan hingga mengeluarkan darah,” kata Ardana.(saiful rohim)