Masih Jadi Anak Tiri Meski Presiden Berganti Enam Kali
“Harga premium (bensin) di sini bisa mencapai Rp 10.000 sampai Rp 15.000,” ujar Syamsul.
TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA - Hidup warga kepulauan selama ini selalu diselimuti kesulitan, utamanya pemenuhan bahan bakar minyak (BBM) dan listrik.
Mereka merasa selama ini kurang mendapat perhatian pemerintah. Letak daerah yang terisolasi secara geografis menjadi alasan.
Suksesi kepemimpinan nasional memunculkan secarik harapan bagi mereka.
Harapan Syamsul sama dengan masyarakat kepulauan lain di Sumenep, Madura.
Lelaki 40 tahunan itu berharap warga kepulauan mendapat jaminan ketersediaan BBM dan listrik. Dua kebutuhan inilah yang menjadi masalah dan derita abadi.
Syamsul tidak ingat sudah berapa lama derita itu mendera. Yang ia tahu, sejak Presiden RI pertama hingga keenam, derita tak kunjung usai.
Sebagian warga bahkan merasa proklamasi kemerdekaan seakan belum pernah terdengar di kampungnya.
Kekayaan alam pulau diambil, tapi mereka tak bisa turut menikmatinya secara layak.
Pulau mereka menjadi penghasil migas terbesar ketiga di Indonesia, tapi mereka terus disuguhi kelangkaan BBM. Kalaupun tersedia, harganya jauh lebih mahal.
“Harga premium (bensin) di sini bisa mencapai Rp 10.000 sampai Rp 15.000,” ujar Syamsul.
Harga itu jauh melebihi tarif resmi pemerintah, Rp 6.500 liter. Sulitnya jalur pengiriman selalu dijadikan alasan, sekaligus mainan para pedagang BBM.
Mereka iri dengan saudara-saudara di daratan. Juga iri pada saudara-saudara mereka di Jatim lainnya, yang selalu tercukupi BBM, dengan harga standar pula. Padahal, daerah-daerah itu jelas bukan penghasil migas.
Tingginya harga BBM, lebih-lebih saat terjadi kelangkaan, bukanlah kesulitan tunggal.
Kesulitan-kesulitan lain segera menyertai. Yang paling terasa, harga kebutuhan pokok langsung ikut melonjak selangit.
Bagi warga kepulauan, kata Syamsul, berapapun harganya tetap saja akan dibeli. Ini bukan karena bergelimang uang, melainkan masyarakat kepulauan memang sudah terbiasa dengan harga selangit. Mereka tidak punya pilihan.
“Saya tidak tahu berapa harga gas elpiji 3 kilogram di daratan. Di sini sih Rp 28.000. Jadi, saya tidak tahu harga yang di sini itu mahal atau murah dibandingkan dengan di daratan. Kami hanya ingin pemerintah adil, karena kami pun warga negara Indonesia,” keluhnya.
Syamsul mengungkapkan, mayoritas warga di Kecamatan Sapekan memilih pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Selisih suaranya pun sangat mencolok. Pasangan nomor urut 1 meraih 73 persen suara.
Kecenderungan pilihan masyarakat ini terjadi karena tim Prabowo-Hatta memang lebih gencar melakukan sosialisasi dan kampanye di Sapekan dibanding tim Jokowi-JK.
“Sekarang kepada Jokowi kami berharap ada perhatian lebih untuk warga kepulauan. Kami berharap kehidupan lebih baik, lebih adil, dan tidak terus menjadikan warga kepulauan sebagai anak tiri di republik ini,” katanya.
Harapan yang sama diucapkan Darul Hasyim, tokoh masyarakat di Pulau Masalembu.
Hasyim mengatakan, meski pemimpin berganti, dia dan puluhan ribu warga kepulauan memiliki harapan lama. Harapan itu adalah akses kehidupan yang lebih mudah.
Selama ini, kata dia, hidup warga kepulauan selalu dihinggapi ketidakpastian.
Dia mencontohkan, harga kebutuhan pokok yang tidak stabil sampai transportasi dari dan ke daratan yang tidak selalu ada.
Dia mengaku tidak berhenti berharap, meskipun presiden berganti, namun hidup warga kepulauan selalu sulit.
Sama dengan di Sapekan, kelangkaan BBM menjadi hantu abadi di Kepulauan Masalembu.
Di pulau ini, harga bensin bisa mencapai Rp 30.000. Harga itu hampir lima kali lipat dari harga yang dipatok pemerintah. ”Selisih harga itu sangat keterlaluan,” kata Hisyam.
Dia berharap, presiden terpilih nanti bisa melahirkan kebijakan untuk menyejajarkan kehidupan warga di kepulauan dengan di daratan.
Kondisi masyarakat di Masalembu dan kepulauan lain di Sumenep memang ironi.
Tak jauh dari pulau-pulau mereka, sebenarnya terdapat dan Pulau Kangean, ladang minyak dan gas yang sudah dieksploitasi.
Masyarakat di sana hanya bisa bermimpi untuk menikmati BBM sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
Ketika BBM langka, pulau-pulau di Sumenep pun gelap gulita. Kondisi paling parah terjadi pertengahan 2013.
Kelangkaan terjadi berbulan-bulan, hingga roda kehidupan hampir berhenti total. Semua kampung di kepulauan gelap gulita berbulan-bulan karena diesel penggerak listrik kehabisan BBM.
Perahu nelayan mangkrak, mesin tak punya ‘minuman’. Warga yang mayoritas bekerja sebagai nelayan mendadak menjadi pengangguran.
Kendaraan dan transportasi darat juga turut tidak bisa bergerak. Walhasil, aktivitas sekolah dan kantor pemerintah terganggu.
Murid dan guru banyak tidak bisa sampai ke sekolah. Begitu juga pegawai pemerintah, terpaksa balik pulang lantaran tidak ada kendaraan yang bisa mengantar ke tempat kerja.
Kelangkaan BBM itu, bisa akan semakin berat saat cuaca buruk menerjang pulau.
“Lalu lintas barang dari daratan ke kepulauan dan sebaliknya terganggu. Barang kebutuhan pokok dari daratan tidak bisa masuk ke kepulauan. Kalau sudah begitu, harga pasti melambung. Masyarakat terpaksa membeli kebutuhan pokok dengan segala cara yang penting halal,” ungkapnya.
Saat ini, mereka hanya bisa menunggu sentuhan janji-janji dari presiden terpilih. (idl)