Limbah Mercuri yang Meracuni Warga Teunon Sudah Diambang Batas Maksimum
Limbah merkuri (air raksa) yang mengalir ke sungai, tidak hanya mematikan ribuan ikan di Krueng Geumpang dan Tangse, Pidie, tapi juga meracuni warga
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Limbah merkuri (air raksa) yang mengalir ke sungai, tidak hanya mematikan ribuan ikan di Krueng Geumpang dan Tangse, Pidie, tapi juga meracuni warga di sekitar lokasi aktivitas penambangan emas di kawasan Aceh Jaya.
Salah satu indikatornya, kadar merkuri di rambut warga Teunom, Aceh Jaya, yang diperiksa ternyata sudah mencapai kadar maksimum.
Hal itu diungkapkan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Aceh, Ir Anwar Muhammad kepada Serambi di Banda Aceh, Selasa (26/8) kemarin, mengutip hasil penelitian tim Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang turun langsung ke Teunom, Kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya pada tahun 2012.
Anwar menilai masih relevan memaparkan hasil penelitian itu sekarang karena sebelumnya tak pernah dipublikasi secara luas dan sekarang momentumnya ia nilai tepat, karena di Aceh sedang ramai dibicarakan pencemaran sungai dan ikan mati massal akibat merkuri.
Saat penelitian itu dilakukan, kata Anwar, sasarannya dibedakan ke dalam dua kelompok. Yakni, pengolah emas (mereka yang langsung aktif dalam kegiatan penambangan, seperti penggali batuan) dan kelompok bukan pengolah emas (mereka yang tak ikut, namun berada di area pengolahan emas, seperti keluarga penambang).
“Hasil penelitian menunjukkan keduanya berpotensi sama, terpapar merkuri,” ujarnya sembari menujukkan kepada Serambi hasil penelitian itu yang sudah dibukukan dengan judul “Pemantauan Penggunaan Merkuri pada Kegiatan Pertambangan Emas Skala Kecil di Kecamatan Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh, 2012.
Anwar yang juga salah seorang anggota tim menyebutkan, mereka melakukan penelitian terhadap 42 warga dari tiga desa, yaitu Desa Buntha, Datar Luas, dan Desa Panggong, Kecamatan Krueng Sabee.
Hasilnya, kadar merkuri pada semua rambut responden sebarannya tidak sama atau berkisar antara 0,001 ppm dan maksimum 132 ppm dengan rata-rata 6,4482.
Konkretnya, ada kelompok responden yang bukan pengolah emas, tapi kadar merkuri di rambutnya mencapai angka maksimum, begitu pula sebaliknya.
“Jadi, secara statistik kadar merkuri tidak dapat dibedakan antara mereka yang terlibat langsung dengan yang tidak terlibat langsung dalam aktivitas penambangan emas tersebut. Yang jelas, tim menemukan bahwa rambut warga di situ sudah terpapar merkuri,” kata Anwar.
Menurutnya, pemilihan sampel dilakukan secara acak. Juga dilakukan wawancara untuk mendapatkan karakteristik dari pola kehidupan sehari-hari para responden.
Anwar menjelaskan, selain jarak responden dengan lokasi pertambangan, indikator lain yang ditelaah adalah lamanya waktu menetap (bermukim). Hasilnya menunjukkan angka bervariasi yang secara statistik sebarannya tidak merata.
“Selain pada air, ikan, dan rambut manusia, mahkluk hidup lain yang dicurigai beracun akibat terpapar merkuri adalah tanaman. Hal ini terjadi karena tanah berpotensi tercemar merkuri dan sifat merkuri tidak terurai, melainkan hanya berpindah tempat antarhewan, tanaman, dan manusia,” sebuh Anwar.
Ia mengimbau, kalau ada perubahan secara massal dan tidak wajar pada tanaman, seperti padi atau kangkung, warga diharap langsung mengambil sampelnya sebelum melapor dan menunggu tim turun ke lapangan.