Dua Caleg Terpilih Boltim Tersandung Kasus Hukum
Gubernur Sulawesi Utara diminta tak menandatangani Surat Keputusan pengangkatan dan pelantikan calon legislatif terpilih yang bermasalah hukum.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, TUTUYAN - Gubernur Sulawesi Utara (Sulut) diminta tak menandatangani Surat Keputusan (SK) pengangkatan dan pelantikan calon legislatif (Caleg) terpilih yang bermasalah hukum.
Aktivis Boltim, Nugroho Lasabuda meminta Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang untuk tidak menandatangani SK pengangkatan caleg terpilih yang memiliki masalah dengan hukum.
"Kami berharap, Gubernur yang punya kewenangan penuh menerbitkan SK bagi DPRD tak menandatangani SK caleg yang bermasalah hukum baik tersangka apalagi terpidana," ujar Nugroho, Kamis (4/9/2014).
Jika Gubernur memaksakan diri mengangkat caleg yang bermasalah hukum, maka akan cacat hukum dan berdampak pada gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Apalagi ada caleg yang berstatus mantan terpidana dengan ancaman di atas 7 tahun. Ini akan jadi preseden buruk bagi Gubernur di akhir pemerintahannya. Etikanya mereka tak dilantik, sebab SK Gubernur terkait pelantikan bisa digugat ke MK," tuturnya.
Gubernur Sulut, Sinyo Harry Sarundajang melalui Kepala Biro Pemerintahan, Setda Provinsi Sulut, Linda Watania mengatakan hingga kini pengurusan SK pelantikan DPRD Boltim periode 2014-2019 masih menunggu penjelasan dari Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Boltim terkait status terpidana dua caleg terpilih di DPRD Boltim.
"Gubernur tidak mau tandatangani SK yang nantinya dipermasalahkan status terpidana ini. Nantinya bisa bermasalah di kemudian hari. Sebab itu kami ingin surat dari KPU soal status dua anggota DPRD yang jadi masalah. Saya tidak tanggungjawab kalau keputusan loloskan dua terpidana ini digugat ke MK," tegasnya.
Komisioner Divisi Hukum dan Penyelenggaran Pemilu KPU Boltim, Awalludin Umbola mengatakan telah melaporkan hasil pleno ke KPU Provinsi terkait status kedua mantan terpidana tersebut.
"Ini kewenangan KPU Boltim, kami diundang untuk konsultatif oleh KPU Provinsi. Soal efek hukum adalah konsekuensi kami. KPU Provinsi meminta mempersiapkan diri untuk menghadapi gugatan. Saya belum tahu persis kalau surat sudah masuk ke Pemprov," jelas dia.
Dia mengatakan sejak awal merekomendasikan agar kedua caleg mantan terpidana tak dilantik. Namun karena kalah suara dari empat komisioner lainnya yang menghendaki tetap dilantik, dia pun menghargai keputusan institusinya tersebut.
"Saya tak ada tendensi pribadi, keduanya telah gugur syarat yang diatur dalam Peraturan KPU nomor 29 tahun 2013. Pernyataan saya dalam pleno, keduanya telah gugur syarat, karena ancamannya tujuh tahun sehingga diperlukan pergantian," bebernya.
Menurutnya, bisa saja Gubernur menolak keputusan KPU Boltim sebab sudah ada surat peringatan dari Pemprov ke KPU Boltim melalui Bupati Boltim.
"Kalau SK tidak terbit akan jadi masalah baru. Tapi saya menghormati keputusan lembaga. Hak gubernur menerbitkan SK bukan KPU. Sekali lagi saya tak ada tendensi mengganti. Keduanya adalah orangtua saya," terangnya.
Komisioner KPU Provinsi, Ardiles Mewoh mengatakan berdasarkan surat masyarakat sudah minta klarifikasi ke KPU Boltim. Pihaknya menegaskan dalam tindaklanjut harus sesuai ketentuan yang ada yakni wajib berpedoman pada peraturan KPU nomor 29 dan Undang-undang nomor 8 tentang penggantian caleg terpilih.
"Ketua KPU memanggil KPU Boltim untuk klarifikasi. Tapi kewenangan itu di KPU Kabupaten," tegasnya.
Sebelumnya, KPUD Boltim ngotot mengusulkan pelantikan dua mantan terpidana kasus materai palsu yakni Sofyan Alhabsy dan Jemi Tine.
Ketua KPUD Boltim, Hendra Damopolii mengatakan tetap mengusulkan calon terpilih berdasarkan hasil pleno terbuka pada 12 Mei untuk dilantik.
"Kesimpulan akhir tetap mengusulkan pelantikan terhadap 20 anggota DPRD terpilih berdasarkan penetapan 12 Mei," tegasnya. Caleg terpilih, Sofyan Alhabsy saat dimintai tanggapan menolak berkomentar terkait polemik tersebut. (ald)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.