Pilih Giling di Rumah Jadi Gula Merah
”Kalau sistem irigasinya bagus, petani disini tentu pingin juga menanam padi. Tapi kalau sekarang ini, tebu menjadi pilihan terbaik,” ujar Hari, Rabu
SPTA dari PG ini hanya dikuasai pihak-pihak tertentu, termasuk koperasi. SPTA kemudian diperjualbelikan di antara petani.
Parahnya lagi, pembayaran tebu petani dilakukan di belakang. PG akan menggiling hasil panen petani, kemudian menjual hasil gulanya. Setelah gula terjual baru petani dibayar.
Meski pemerintah telah mematok harga Rp 8.500, namun pada kenyataan harga yang diterima petani bisa di bawah itu.
”Jika pihak PG menyatakan gula belum terjual, kami tidak bisa berbuat apa-apa,” ucap Ainun, yang kerap jadi tempat mengadu para petani tebu ini.
Di tengah harga tebu yang dianggap kurang menguntungkan, keberadaan pabrik gula tradisional menjadi sedikit solusi bagi petani.
Sebab produsen gula merah berani membeli tebu petani dengan harga yang lebih tinggi. Sayangnya, kebutuhan tebu pabrik rumahan ini tidak terlalu besar.
Hariyadi, salah satu pemilik pabrik gula merah di Tulungagung menggambarkan, PG rata-rata membeli tebu petani dengan harga Rp 40.000 hingga Rp 42.000 per kwintal.
Namun pihaknya bisa membeli tebu petani hingga Rp 50.000 per kwintal.
”Kalau kami fleksibel, dan tentunya berani beli harga yang lebih tinggi. Karena kalau belinya sama dengan PG, tentu gak ada yang mau jual pada kami,” ujarnya.
Selain itu, pabrik gula merah tidak pernah mempermasalahkan rendeman.
Baginya, asal tebu sudah tua dan siap panen, cukup untuk menjadi bahan baku gula merah. B
iasanya untuk membeli tebu petani, Hariyadi memeriksa secara fisik tebu.
Pemeriksaan lebih untuk memastikan, tebu yang dipanen memang sudah tua.
Selanjutnya Hariyadi mengambil beberapa contoh tebu untuk dicoba. Jika rasanya manis dan tidak hambar, pembelian bisa dilanjutkan.
”Gak perlu ribet, cukup dilihat terus dirasakan, berapa pun rendemennya asal manis pasti kami beli. Itulah yang membuat petani senang menjual tebunya pada kami,” pungkas Hariyadi.