Beli Tanah di Bali Harus Bayar 30 Persen ke Banjar
"Bila membeli tanah di sini, pembeli harus membayar ke banjar sekitar 30 persen dari harga tanah yang dibeli," tandasnya.
Editor: Y Gustaman
Keadaan tersebut, kata pemain voli legendaris Banjar Tengah itu, disebabkan kurangnya perhatian masyarakat terhadap keberadaan olahraga voli. Padahal, kata dia, voli adalah olahraga favorit di Desa Ketewel.
"Saya tidak sombong. Dulu, klub Bangteng (sekarang Putra BSP) Banjar Tengah sangat disegani pemain lain. Sebab, saat tanding, selalu masuk babak delapan besar. Tapi sekarang, baru dua kali main saja sudah out. Itu karena anak-anak tidak bisa berkembang. Sebab tak punya fasilitas. Tuh, lihat saja netnya kayak gitu," ujarnya sembari menunjuk net yang talinya banyak putus.
Kepada Tribun Bali Maja mengatakan, pada tahun 1998 anak-anak muda Banjar Tengah mendapat juara II Turnamen Voli tingkat Desa Ketewel dan tahun 1999 menjadi juara II Voli tingkat Kecamatan Sukawati.
I Kadek Putra Wijaya (19) alias Kadek Elo, remaja setempat mengatakan terkadang ia dan teman-teman setimnya harus mengeluarkan iuran Rp 20 ribu per orang. Dana itu digunakan untuk membeli bola dan net.
"Di Ketewel, hanya klub kami saja yang masih mengeluarkan iuran. Kalau di banjar lain, sudah ditanggung banjar dan STT. Kalau mengikuti lomba atas nama STT, barulah kami diberi bantuan. Kalau tidak, ya kami tak dibantu," ungkapnya.
Pesimistis Bisa Kuliahkan Anak
Potongan kayu jati berbentuk balok memenuhi rompok I Made Rajin (39), Jumat (21/11). Beberapa kayu tampak diukir motif bunga. Rompok berlantai semen tersebut merupakan tempat keluarga Rajin setiap harinya menjalankan pekerjaannya sebagai perajin ukiran untuk bangunan style Bali.
Sembari memahat kayu, pria asal Banjar Tengah, Desa Ketewel, Sukawati ini mengaku sudah menggeluti pekerjaan sebagai perajin sejak masih duduk di bangku kelas III SD.
Pada awalnya, pria yang saat ditemui tengah tidak memakai baju ini mengaku sebagai perajin patung paksi (garuda). Namun karena permasalahan ekonomi, ia beralih menjadi perajin ukiran style Bali.
Ditanya mengenai harga yang didapatkan untuk satu meter ukiran, pria murah senyum ini tampak menggeleng-gelengkan kepala. Sebab, di tengah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), yang membuat harga kebutuhan pokok melambung, gaji yang didapatkannya tidak kunjung naik.
"Per metenya, dari tahun 2000 sampai sekarang, upah yang saya dapat Rp 500 ribu. Sampai saat ini belum berani minta kenaikan harga sama bos. Dapat kerjaan saja sudah untung," ujarnya.
Biaya sarana upakara, kebutuhan sehari-hari, dan biaya sekolah ketiga anaknya yang masih duduk di bangku kelas III SMP dan kelas III SMK membuat penghasilan tersebut dirasa sangat kurang.
"Tidak cukup. Soalnya membuat kerajinan seperti ini, tidak cukup waktu satu atau dua hari. Paling cepat satu bulan. Sebab ukirannya rumit. Bisa saja saya bikin ukiran yang biasa-biasa saja biar bisa dapat banyak uang. Tapi, saya tak suka bekerja asal-asalan," tandasnya.
Himpitan ekonomi ini membuat Rajin pesimistis bisa menguliahkan anak pertamanya yang sebentar lagi lulus SMK Kesehatan. Padahal dia sangat ingin anaknya memiliki masa depan yang lebih cerah. "Tapi mau gimana lagi. Untuk bayar uang pakaian sekolah saja sering utang di LPD," pungkasnya.
Rajin berharap naiknya harga BBM berpengaruh terhadap jaminan biaya sekolah SD sampai SLTA bisa gratis. "Paling membuat pusing adalah biaya sekolah. Kalau bisa sekolah digratiskan, saya akan sangat berterima kasih sekali," tandasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.