Tersangka Pencemaran Nama Baik Bupati Gowa Dipeluk Sang Bunda
Dirinya yang terbiasa selalu bersama. Ngobrol bertukar pendapat, juga pertengkaran kecil yang membuatnya rindu.
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribun Timur Uming
TRIBUNNEWS.COM, SUNGGUMINASA -- Peringatan Hari Ibu dirasakan berbeda tahun ini oleh Rukmini. Wanita 58 tahun tersebut hanya bisa mendapatkan pelukan dari anaknya Fadli Rahim (33) dari dalam rutan Makassar karena tersangkut kasus pencemaran nama baik oleh Bupati Gowa, Ichsan YL.
"Tadi saya jenguk lagi. Dia cuman beri saya pelukan dihari ibu ini. Matanya sembab. Sering menangis dalam salatnya. Tapi alhamdulillah dia banyak mendapatkan pelajaran hidup disana. Bahwa orang yang jahat tidak selamanya jahat. Dia juga ajak rekannya dalam rutan untuk rajin salat," ujarnya saat dikunjungi tribun dikediamannya, Senin (22/12/2014).
Rukmini pun mengaku sedih tanpa anak sulungnya tersebut disampingnya kini. Dirinya yang terbiasa selalu bersama. Ngobrol bertukar pendapat, juga pertengkaran kecil yang membuatnya rindu.
"Sedih juga. Karena biasanya dia ada disampingku. Bertukar cerita. Bertengkar. Dia tidak akan pergi sebelum baikan kembali," katanya. (Baca juga: Ini Tulisan Tangan Fadli ke Bupati yang Membuatnya Dipenjara)
Tribun sempat menanyakan kondisi Fadli saat Rukmini menjemputnya di Rutan Gunung Sari Makassar. "Sehat. Cuman lagi flu. Saya juga berpesan agar jangan terlalu merasa tertekan didalam. Sebab banyak teman-temannya diluar yang membantu," ujarnya.
Dukungan pun datang dari sejumlah lembaga dan organisasi. Baik di Gowa dan Makassar.
Presidium Komite Komunitas Demokrasi Gowa (KKDG), Arfandy Palallo yang menghubungi Tribun, mengaku sudah menggalang dukungan sebagai wujud kepedulian.
"Kami menganggap ini adalah kekejaman berdemokrasi padahal Indonesia sudah mendeklarasikan sebagai negara demokrasi, dimana hak untuk bersuara dan berpendapat dimuka umum merupakan hak konstitusi, padahal pasal pencemaran nama baik kepada pemerintah atau dikenal dengan HaartZaai Artikelen sendiri sudah dihapuskan oleh mahkama konsitusi," ujar Arfandy.
Selain itu, kekhawatiran Arfandy tentang pasal-pasal yang diterapkan, akan digunakan secara tidak bertanggung jawab.
"Pada akhirnya banyak yang menjadi korban, penurunan pangkat, menjadi tahanan, terancam dipecat dan keluarga juga ikut korban dimutasi. Kami berpendapat bahwa ini sangat tidak relevan dengan konsep demokrasi dan Hak Azasi Manusia," jelasnya.