Suhadak Bawa Kerajinan Biji Jenitri Magelang Tembus Berbagai Negara
Imam Suhadak kini menikmati hasil kerja kerasnya setelah bertahun-tahun merintis kerajian biji pohon jenitri.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, MAGELANG - Imam Suhadak kini menikmati hasil kerja kerasnya setelah bertahun-tahun merintis kerajian biji pohon jenitri. Pria 38 tahun itu bisa memiliki rumah sendiri, menghidupi keluarga hingga menyediakan lapangan kerja bagi tetanga-tetangganya.
Suhadak tidak kecil hati meski usaha kerajinan biji jenitri termasuk tidak umum di tempat tinggalnya di Dusun Sangubanyu, Desa Banyuwangi, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Di kaki gunung Sumbing itu, pohon jenitri masih tergolong langka. Kebanyakan warga bekerja sebagai petani di sawah maupu perkebunan. Namun bagi Suhadak, kondisi tersebut justru menjadi peluang untuk mengembangkan bisnis kerajinan biji jenitri.
"Biji jenitri memang belum banyak dikenal di sini (Magelang). Biji ini banyak ditemukan di Sumatera, Ambon, Sulawesi, Papua dan Kalimantan. Saya juga menanamnya tetapi hanya beberapa pohon saja," kata Suhadak ditemui Kompas.com di kediamannya, belum lama ini.
Di tangan Suhadak, biji-bijian berwarna cokelat kasar itu dibuat beragam kerajian menarik seperti tasbih atau Mala Buddha, kalung, gelang, bantalan jok mobil, bola pijatan hingga topi menyerupai bagian kepala arca Sidharta Gautama.
Sejak dulu, Suhadak memang menyukai dunia desain sehingga tidak heran jika dia pun cukup mahir merangkai biji-biji dengan arsitektur alami itu menjadi kerajian yang unik dan mempunyai nilai jual tinggi.
“Awalnya saya memang senang menggambar dan desain, lalu saya mencoba merintis usaha jenitri ini. Saya coba bikin karya yang masih jarang dibuat di sini. Salah satunya mahkota Gajah Mada yang bentuknya mirip stupa Candi Borobudur," papar Suhadak yang dahulu bekerja sebagai teknisi galangan kapal di Cilincing, Jakarta.
Tembus ke luar negeri
Ia tidak menyangka, setelah diperkenalkan ke pasaran, banyak yang menyukai kerajinan hasil karyanya. Tidak tanggung-tanggung, topi Gajah Mada banyak disukai oleh orang-orang luar negeri seperti Tiongkok dan Nepal.
Sedangkan Mala Buddha yang berisi 108 biji jenitri itu laris manis di negara Tiongkok, Hongkong, Korea, Jepang hingga Australia.
Menurut Suhadak, kerajinan biji jenitri, khususnya Mala, banyak dipakai untuk ritual ibadah umat Buddha. Namun, tidak sedikit pula yang mengenakan kerajinan ini untuk keperluan fashion, seperti di negara Hongkong dan Korea.
"Dulu saya masih door to door untuk mengenalkan produk saya ke masyarakat, lalu saya juga sering ikut pameran kerajinan di berbagai daerah. Tapi sekarang saya manfaatkan internet untuk promosinya," ujar Suhadak.
Harga yang ditetapkan untuk setiap produknya bervariasi. Misalnya, harga kalung atau tasbih Rp 25.000 per buah, bola pijat Rp 20.000, bantalan jok mobil antara Rp 500.000 - Rp 1 juta, paling mahal mahkota Gajah Mada berkisar antara Rp 1 juta - Rp 5 juta per buah.
"Harga tergantung jenis dan kesulitan rangkaian setiap produk. Namun harga juga tergantung keunikan ukiran alami pada kulit biji, semakin unik, maka semakin mahal harga per bijinya," jelas Suhadak. (KOMPAS.COM/ Ika Fitriana)