Meski Memenggal Kepala Preman, Hania Yakin Anaknya Tak Akan Dihukum Mati
Sebelum adanya kekuatan hukum tetap terhadap proses hukum anaknya, Hania tetap menyimpan harapan anaknya bebas dari tembakan algojo eksekusi mati.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG - Jauh dari keberadaan anaknya, rasa cemas selalu mengiang di benak Hania (50). Hania adalah ibu dari Abdullah Rusik, salah satu tervonis mati di Sumsel. Sang ibu tak henti-hentinya memikirkan nasib anak sulungnya tersebut. Terlebih, sejumlah media televisi sedang heboh-hebohnya menayangkan eksekusi mati untuk sejumlah terpidana mati.
Meski demikian, sedikit harapan supaya anaknya lolos dari eksekusi mati tetap terpatri di sanubari istri dari tukang becak ini. Sebelum adanya kekuatan hukum tetap terhadap proses hukum anaknya, Hania tetap menyimpan harapan anaknya bebas dari tembakan algojo eksekusi mati.
"Anak saya itu mengidap penyakit jiwa dan saya tahu orang sakit jiwa tidak bisa dipenjara atau dieksekusi mati. Sebab itu, meski sampai tingkat kasasi anak saya hukumannya hukum mati, saya optimis hukuman itu akan berubah," kata perempuan beranak sembilan yang tinggal di Desa Binti Ale Batanghari Leko Muba ini, saat dihubungi melalui ponselnya, Rabu (25/2/2015).
Terdengar dari mikrofon ponsel, kegalauan dan kegundahan Hania seakan tergambar. Suaranya lirih, sesekali kalimat yang dilontarkan putus-putus, dan sama sekali tak ada terdengar senyuman dari mulut Hania. Ketika melontarkan harapan hukuman terhadap anaknya bisa berubah, nada bicara Hania terdengar pelan seperti seseorang yang sedang meminta ampunan kepada atasannya.
Melihat pemberitaan menjelang eksekusi mati di televisi, Hania sangat berharap, anaknya bukan salah satu terpidana yang akan ditembak. Karena itu, setiap kali ada tayangan tentang berita tersebut, Hania menjauh dari televisi menghindari melihat dan mendengarkan pemberitaan tersebut.
Dikatakan Hania, sesaat usai menghabisi nyawa Iskandar, anaknya justru dianggap sebagai pahlawan oleh warga di
sekitar kediaman Hania. Rupanya, menurut keterangan Hania, Iskandar sering membuat warga di sana tidak nyaman dengan mengambil paksa kayu-kayu milik warga untuk ia jual kembali. Warga tak berani berbuat karena Iskandar berstatus preman dan kenalan dari orang terkaya di Palembang. Ini yang membuat warga yang ada di sana hanya bisa diam saja melihat kayu-kayu mereka diambil Iskandar.
Alasan pencurian kayu inilah, ungkap Hania, yang mendasari Rusik menghabisi nyawa Iskandar. Terlebih, Rusik saat itu baru saja mengidap penyakit kejiwaan dan dua teman Rusik juga bersedia membantu menghabisi nyawa Iskandar.
Akhirnya, peristiwa tragis itu terjadi dimana Iskandar tewas dengan kepala terpisah dari tubuhnya. Selain itu, belasan luka tusuk terdapat di sekujur tubuh Iskandar.
Hania melanjutkan, usai peristiwa tersebut, Rusik pulang dengan tangan berlumuran darah. Bapak beranak tiga ini juga membawa karung yang isinya tak lain adalah kepala Iskandar. Saat itu, Hania melihat Rusik hanya diam saja dan tidak berbicara apa pun. Mengingat emosi anaknya yang sering meledak, Hania enggan bertanya apa-apa saat itu.
"Tak lama, polisi datang dan menangkap anak saya tanpa mendapat perlawanan dari anak saya. Sejak saat itu, banyak tetangga saya yang mengucapkan terima kasih karena Rusik sudah menghabisi nyawa seorang preman," kata Rusik.
Masih dikatakan Hania, sejak anaknya berada di Lapas Merah Mata Palembang, ia cukup kesulitan untuk membesuk anaknya. Dalam periode tiga bulan, ia hanya bisa melihat fisik anaknya di lapas. Ini terjadi karena Hania tidak punya banyak uang untuk sering-sering membesuk Rusik. Di luar membesuk, Hania hanya bisa mempertanyakan kabar anaknya melalui pengacara Rusik.
Disinggung tentang sebab penyakit kejiwaan yang diderita Rusik, Hania menjelaskan, dikarenakan Rusik sering menanggung beban seorang diri. Setiap kali ada masalah Rusik tidak pernah mencurahkanya kepada orang lain. Menurut Hania, Rusik hanya mau bercerita dengan adik iparnya. Sayangnya, adik iparnya itu meninggal dunia di usia muda sehingga kondisi mental Rusik kian turun. Akhirnya, Rusik menderita sakit jiwa dan pernah menjalani rawat inap di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Ernaldi Bahar Palembang.
"Saya hanya berharap pelaku-pelaku hukum yang ada di negeri ini membuka matanya lebar-lebar akan nasib anak saya. Kalau memang orang gangguan jiwa tidak bisa dihukum, ya tolong jalankan aturan itu. Jangan mentang-mentang kami tidak punya uang, aturan tersenbut dihilangkan begitu saja karena kepentingan individu," kata Hania.