Jual Pupuk Bersubsidi dengan Harga Mahal, Warga Semarang Ditangkap Polisi
Disparitas harga pupuk bersubsidi dan non subsidi yang cukup besar menggoda para mafia untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, UNGARAN - Disparitas harga pupuk bersubsidi dan non subsidi yang cukup besar menggoda para mafia untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Salah satunya Romtini (45), warga Pringapus Kabupaten Semarang.
Pelaku membeli sisa kuota pupuk bersubsidi dari para petani lalu menjualnya ke pasaran diwilayah yang kekurangan pupuk dengan harga yang cukup tinggi. Saat ini kasus penyelewengan pupuk tersebut ditanganoi oleh Satreskrim Polres Semarang.
"Ini pupuk kan bersubsidi, tapi dijual melebihi harga ditentukan oleh pemerintah. Dia menjualnya per sak Rp 125.000 padahal tersangka membeli dari petani Rp 85.000 sampai Rp 90.00," kata Kapolres Semarang, AKBP Muslimin Ahmad, saat gelar perkara di kompleks Mapolres Semarang, Senin (2/3/2015) siang.
Dari tangan tersangka, polisi menyita tujuh ton pupuk bersubsidi jenis SP-36 dan urea berikut barang bukti satu unit truk H 1850 AL yang digunakan mengangkut 140 sak pupuk bersubsidi. Terdiri 30 sak pupuk urea dan 110 sak pupuk SP-36.
Menurut Muslimin, penyimpangan penjualan pupuk bersubsidi di pasaran ini terungkap berkat adanya laporan dari masyarakat.
Kemudian, penyidik melakukan penyidikan dan berhasil menangkap tangan Winarto (51), warga Sengrong, Bringin, sopir truk pengangkut pupuk bersubsidi.
"Kami menerima laporan dari masyarakat Bringin adanya penjualan pupuk bersubsidi tidak pada tempatnya. Setelah kita lidik memang benar ada,” kata Muslimin.
Saat ditangkap, Winarto tengah mengangkut pupuk bersubsidi dari petani dari kawasan alas karet Pringapus yang rencananya akan dibawa ke Bringin, Kabupaten Semarang.
"Saya sejak dulu dapat orderan dari Bu Romtini untuk mengangkut pupuk, tapi tidak tahu kalau ini pupuk bersubsidi. Biasanya sekali mengantarkan, saya mendapat upah Rp 100.000,” ujar Winarto.
Kasatreskrim AKP Herman Sophian mengungkapkan, tersangka akan dijerat Pasal 6 ayat (1) huruf b UU Darurat No 7 tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi juncto Pasal 4 huruf a Perpu 8 tahun 1962 tentang perdagangan barang-barang dalam pengawasan Peraturan Presiden No 15 tahun 2011.
"Pelaku, tidak kami lakukan penahanan karena ancaman hukumannya di bawah dua tahun. Kami akan kembangkan kasus ini untuk mengungkap kemungkinan adanya jaringan,” kata Herman.