Meski Hanya Honorer, Perempuan Tunanetra Ini Ikhlas Mengajar
Erni Fitriani, seorang guru yang mengajar di Sekolah Dasar Luar Biasa (SD-LB) Negeri Tanjung Redeb
Editor: Budi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM. TANJUNG REDEB-MANUSIA terlahir lengkap dengan kekurangannya, namun kekurangan itu tak mesti menjadi penghambat untuk memberi manfaat bagi orang lain.
Itulah yang dilakukan oleh Erni Fitriani, seorang guru yang mengajar di Sekolah Dasar Luar Biasa (SD-LB) Negeri Tanjung Redeb. Sejak lahir, Erni menyandang tunanetra.
SIANG itu Erni tengah mengajar empat orang muridnya di salah satu ruang kelas. Ukuran kelas tidak sebesar sekolah-sekolah pada umumnya, hanya 4 X 4 meter.
Ruangan ini sudah mencukupi untuk menampung tiga orang anak didik Erni.
Semua murid Erni di kelas itu juga penyandang tunanetra. "Silakan masuk," kata Erni dengan ramah saat Tribun Kaltim menyambangi tempatnya mengajar.
Pagi itu Erni mengenakan jilbab warna hitam dan pakaian dinas layaknya PNS.
Tapi Erni hanyalah pegawai honorer, dia sudah berusaha menjadi abdi negara, setiap seleksi CPNS dia selalu mendaftar. Sayangnya, moratorium CPNS yang ditetapkan pemerintah pusat membuat dia harus kehilangan kesempatan menjadi PNS.
"Kemarin (2014) saya mau ikut CPNS, tapi umurnya sudah lewat jadi tidak bisa ikut," kata Erni yang kini berusia 49 tahun.
Erni mulai mengajar di Sekolah Luar Biasa sejak tahun 2008. Selama itu pula, Erni sudah beberapa kali mengikuti seleksi CPNS.
Harapannya untuk menjadi PNS sudah pupus, namun keinginannya untuk mengajar tetap ada.
"Kalau tidak bisa jadi PNS tidak apa-apa, yang penting sudah mencoba, saya tidak keberatan menjadi honorer sampai kapanpun, selama saya masih bisa mengajar, saya akan terus mengajar," kata ibu satu anak ini.
Bagi Erni, mengajar lebih dari sebuah pekerjaan, baginya mengajar adalah sebuah pengabdian. Erni sengaja mengabdi di SLB Negeri Tanjung Redeb, tempat dia semasa kecil menimba ilmu. (Baca juga: Tunanetra Penerima Rp 25 Juta Sempat Sulit Urus Rekening)
"Saya dulu juga sekolah di sini, sejak tahun 1985 dan kebetulan saya angkatan pertama," ungkapnya. Saat itu, Erni hanya memiliki 2 orang sahabat.
Setelah menyelesaikan pendidikan SD-LB, Erni melanjutkan sekolahnya di SMP Negeri 2 Jogjakarta, dilanjutkan dengan pendidikan SMA Muhamadyah. Keinginan Erni untuk belajar membawanya menjadi seorang sarjana pendidikan di PGRI Jogjakarta.
Selesai merampungkan pendidikannya, Erni tak banyak berpikir, dia segera kembali ke kampung halamannya, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Tapi mencari pekerjaan tak semudah yang dibayangkan, Erni sempat bekerja sebagai tukang pijat sebelum akhirnya mendapat tawaran untuk mengajar di SLB Tanjung Redeb.
Tentu saja tawaran itu tak disia-siakannya, apalagi Erni memang bercita-cita menjadi guru. Namun mengajar anak-anak berkebutuhan khusus bukanlah persoalan mudah. Di Kabupaten Berau infrastrukturnya saja masih terbatas, apalagi fasilitas untuk pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.
"Kami ini kesulitan mendapatkan buku-buku braille, sangat sulit mendapatkan buku-buku itu. Sampai sekarang buku yang kami miliki sangat terbatas," ungkapnya.
Saat ini hanya ada tiga siswa SD yang menyandang tunanetra. "Tapi bagaimana nanti kalau mereka melanjutkan ke jenjang berikutnya (SMP dan SMA) sedangkan buku untuk SD saja masih sangat terbatas," kata istri dari Sutikno ini.
Mayoritas buku yang dimiliki SLB ini adalah buku bacaan biasa. "Kalau minta tolong dibacakan sama orang lain, belum tentu mereka telaten," imbuhnya.
Karena itu, dirinya berharap, pemerintah bisa memberi embosser atau mesin cetak braille sehingga anak-anak tunanetra di Kabupaten Berau bisa mendapatkan lebih banyak pengetahuan dari literatur yang sudah ada. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.