Tommy Gunakan Koin Tahun 1914 Unutuk 'Jimat'
Ada kolektor yang datang mencarinya, namun ia sedang sibuk dan tak bisa bertemu.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, KOTAMOBAGU - Sebagai alat pembayaran, dari waktu ke waktu koin selalu mengalami perubahan baik jenis dan bentuknya.
Koin pada tahun 1945, tak lagi bisa digunakan pada 2015.
Meski demikian bagi sejumlah orang walaupun tak bisa digunakan lagi untuk membayar, koin tersebut bisa dijadikan koleksi sejarah.
Orang seperti itu biasanya disebut kolektor barang bersejarah.
Para kolektor biasanya memandang barang-barang tersebut sangat bernilai harganya.
Tak jarang mereka pun membayar mahal untuk itu. Sementara itu, bagi orang yang berpikiran sebaliknya, benda bersejarah seperti koin hanyalah benda kuno yang berkarat sehingga mereka tak mau menyimpannya lagi.
Dan agar bisa bermanfaat, mereka pun menunggu ada kolektor yang menawarnya.
Itu pun yang dilakukan Tommy Mokoginta. Warga Kelurahan Molinaw Kota Kotamobagu ini memiliki koin tahun 1945, yang dipercayainya adalah koin Indonesia dahulu kala saat Belanda menjajah Indonesia.
"Di sisi yang satu, bertulisan nederlandsch indie, sedangkan di sisi yang lain bertulisan seperti tulisan indonesia kuno," ujarnya kepada Tribun Manado, Sabtu (18/4) Malam saat ditemui di Rumahnya.
Koin dengan nilai 2 1/2 cent miiknya ada 74 keping, tak hanya tahun 1945, ada tujuh keping tahun 1920, dan dua keping tahun 1914. "Koin yang tahun 1914, saya simpan dalam dompet, sebagai jimat. Siapa tau rezeki bisa datang melimpah," ujarnya lalu tersenyum.
Sudah sekitar tiga tahun koin tersebut ia simpan menunggu kolektor datang membeli. "Ini merupakan peninggalan orangtua saya, saat sedang melihat barang-barang milik almarhum bapak, saya menemukan koin-koin ini dalam sebuah kantong kecil. Saat itu sekitar tiga tahun lalu," ungkapnya.
Tak ada pesan apapun dari almarhum ayahnya. Selama masih hidup koin tersebut sering dibagi-bagikan kepada kerabat yang datang meminta.
"Ada yang menggunakan sebagai jimat kalung, ada juga yang mengikatkannya di tali sarung parang," ujarnya.
Cara ayahnya memiliki koin-koin tersebut pun tidak diketahuinya dengan jelas. "Almarhum ayah Hanny Mokoginta (70) memang dulunya seorang perantau. Selama tujuh tahun ia ikut dengan kapal layar besar untuk berdagang. Yang pernah ia sampaikan wilayah yang sering ia datangi yaitu Gunung Ngawi, Ternate, dan Halmahera. Katanya nama koin ini Gobang," ujarnya.
Dikatakannya, sekitar tujuh bulan lalu ia sangat menyayangkan. Ada kolektor yang datang mencarinya, namun ia sedang sibuk dan tak bisa bertemu.
"Kata tetangga, mereka itu membawa album uang dulu. Disana tercantum jenis koin maupun uang kertas yang mereka cari, lengkap dengan harganya. Uang kertas Rp 1000 tahun 1945 akan mereka beli dengan harga Rp 800 ribu. Mungkin begitu juga dengan koin 1945 ini," ujarnya.
Itu pun yang membuatnya, berniat menjual koin-koin tersebut. "Bagi yang berminat, harganya bisa nego," ujarnya. (Tribun Manado/Handhika Dawangi)