Di Medan, Anak-anak Pengungsi Rohingya ingin sekolah
Beberapa anak di bawah usia 10 tahun duduk di deretan bangku sebuah ruangan penampungan imigrasi di Medan
Editor: Budi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM.MEDAN-Beberapa anak di bawah usia 10 tahun duduk di deretan bangku sebuah ruangan penampungan imigrasi di Medan, Sumatra Utara. Tidak semuanya duduk manis seperti yang diminta ibu guru, sebagian tampak tidak betah.
Dengan melihat ke papan tulis, beberapa anak tertarik melafalkan kalimat-kalimat sederhana dalam bahasa Inggris.
“Untuk kelompok umur enam sampai 10 tahun fokus pembelajarannya adalah mengingat, seperti memperkenalkan diri, memperkenalkan orang lain,” tutur Nardus Liliana Tobing, seorang guru bahasa Inggris untuk anak-anak pengungsi yang ditempatkan di Yayasan Pendidikan Anak Perkebunan I, Medan.
Bercampur kebangsaan, sang guru pun kesulitan menerangkan apa yang dimaksud. Selain itu, sebagian anak belum mengenal tata krama.
“Karena anak-anak Myanmar belum pernah sekolah, maka sulit diberikan pengertian tentang tata cara di kelas."
Nardus Liliana Tobing memberikan pelajaran bahasa Inggris atas permintaan Lembaga Migrasi Internasional (IOM). Ada pula pelajaran membaca Al Quran yang diberikan oleh sesama pengungsi.
Bahasa Inggris menjadi genting apabila anak-anak pengungsi ini suatu hari mendapat kewarganegaraan dari negara-negara seperti Australia dan Amerika Serikat yang menjadi tujuan orang tua mereka. Namun kelas seperti ini dirasa kurang oleh para orang tua.
“Anak-anak sudah besar-besar. Kita kesulitan mengusahakan pendidikan mereka. Mereka tidak bisa sekolah. Di rumah kita ajari sendiri sedikit-sedikit,” tutur Shansu, seorang ayah empat anak.
Ia patut galau sebab keempat anaknya berusia sekolah. Yang sulung seharusnya duduk di kelas lima sekolah dasar. Adapun putra bungsunya seharusnya mulai sekolah taman kanak-kanak.
Bila Shansu, 55, menginginkan anak-anaknya mendapatkan pendidikan lebih dari sekedar yang didapat di penampungan, ia harus mengirimkan mereka ke sekolah swasta.
Namun, lanjutnya, hanya dengan mengandalkan tunjangan dari Lembaga Migrasi Internasional sebesar Rp1.250.000 per bulan dan Rp500.000 untuk anak, langkah tersebut terasa sulit.
Status mereka sebagai warga asing, membuat anak-anak pengungsi Rohingya tidak bisa pergi ke sekolah pemerintah. Konsekuensinya, kelas-kelas informal yang diberikan kepada mereka.
“Atas permohonan IOM dan Imigrasi, mereka diberikan sarana pendidikan. Sampai sekarang banyak yayasan yang memberikan simpati dan memberikan sekolah. Ada tingkatannya menurut umur,'' kata Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Polonia, Sumatra Utara, Tani Rumapea.
Ketika BBC Indonesia mengunjungi beberapa penampungan, mayoritas anak tampak tak beraktivitas. Sebagian duduk-duduk saja, dan seperti dituturkan oleh orang tua mereka, kondisi seperti itu kemungkinan tidak akan membuat masa depan mereka lebih baik.(BBC)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.